Friday, October 2, 2020

2020 so far...

02 October 2020

Tak terasa waktu bergulir hingga memasuki trimester terakhir di tahun yang luar biasa ini. Sudah sampai mana perjalananmu di tahun 2020 ini? Pertanyaan itu yang sering saya tanyakan ke diri sendiri di pagi hari setelah bangun tidur. Ya, seperti yang kita semua rasakan, tahun ini luar biasa memberikan kita banyak pelajaran dalam hidup. Hidup kita yang sebelumnya terasa begitu berwarna, berjalan cepat dengan ritme dan keteraturan, rencana- rencana yang terwujud, namun ternyata tahun ini kita dipaksa injak rem dan rehat sejenak. Pandemi memaksa kita untuk merombak keseluruhan rutinitas dan planning kita.

Bagi sebagian besar bahkan hampir seluruh umat manusia, mungkin terpaksa mengalami perubahan total dalam kehidupan kesehariannya. Begitu juga dengan saya. Hari-hari yang biasa dihabiskan di luar rumah untuk bekerja di kantor ataupun berkegiatan di luar rumah, kini 90% saya habiskan di rumah saja. Si rumah yang dulunya lebih sering cuma sebagai tempat menginap di malam hari, kini mungkin mulai merasa bosan melihat si empunya setiap hari ngendon di rumah saja dan jarang meninggalkan rumah. Untuk seorang yang bukan 'anak rumahan' seperti saya, tentu hal ini memberi efek pada kesehatan psikologis dan jasmani saya.

Saya yang terbiasa bergerak aktif di luar rumah, ketika pandemi menyerang diharuskan stay home. Sebulan dua bulan awal pandemi saya masih bisa bertahan untuk tidak keluar rumah dan bepergian. Namun memasuki bulan ketiga, saya mulai gelisah dan stress akibat tubuh yang kekurangan aktivitas. Saya pun memulai hobi baru bercocok tanam, belajar menanam berbagai macam tanaman dalam pot. Juga menyibukkan diri dengan kegiatan masak memasak. Namun, apakah itu cukup?

Ternyata tidak. Saya sempat mengalami stress dan hampir depresi akibat di rumah saja. Di bulan ketiga pandemi, depresi itu membuat saya mengalami insomnia dan susah makan. Keinginan untuk bepergian keluar rumah meski hanya ke pinggir pantai menghirup aroma laut pun sudah tak terbendung lagi. Saya pun mulai break the rules dan pergi ke pantai. Sungguh hati ini merasakan ada sedikit beban yang terangkat ketika untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di atas pasir dan menghirup udara asin air laut setelah berminggu-minggu di rumah saja. Dan di titik itulah saya mulai tergugu, betapa rindunya saya pada alam dan kehidupan normal sebelum pandemi.

Memasuki bulan keempat pandemi, saya mulai berkegiatan di luar rumah. Jogging di pantai atau jalanan menjadi kegiatan hampir setiap hari. Saya juga mulai bikin usaha rumahan kecil-kecilan supaya ada yang dikerjakan ketika sedang tidak mengerjakan pekerjaan kantor. Ya, Puji Tuhan saya masih diberi kesempatan bekerja di kantor saya, meski work from home saja 2x seminggu. Memiliki pekerjaan dan penghasilan untuk bertahan hidup di masa krisis ini adalah sebuah anugerah yang terus saya syukuri. Di bulan keempat pandemi, saya mulai pelan-pelan sedikit bangkit dari rasa tidak nyaman akibat 'di rumah saja' itu. Saya juga sudah mulai berinteraksi langsung dengan teman-teman, tentu dengan tetap menjalankan protokol kesehatan.

Memasuki bulan kelima pandemi, saya mendobrak semua ketakutan yang tercipta di kalangan sosial tentang penularan virus yang tengah viral itu. Saya tidak ingin membiarkan diri saya terkungkung ketakutan akan virus tersebut dan membiarkan diri saya untuk tetap di rumah saja  mengikuti anjuran pakar kesehatan. Saya memutuskan untuk legowo, it is what it is, ada atau tidak ada virus saya akan kembali beraktivitas. Saya pun mulai aktif berolahraga baik indoor maupun outdoor, 4-6 hari seminggu saya rajin memompa diri saya sendiri di gym dan jogging path sepanjang pantai. Di saat sebagian besar orang lain masih menghindari gym karena dianggap sebagai salah satu tempat potensial penyebaran virus, saya justru rutin menyambangi nya 4x seminggu. Tentu saja banyak yang kontra dengan aktivitas saya tersebut. Banyak yang mempertanyakan dari segi keamanan nya, bahkan beberapa tak segan mengomeli saya. Well, jujur saya kalau ditanya takut atau tidak dengan covid, saya sebenarnya justru lebih takut jadi gila akibat depresi karena di rumah saja. Sebetulnya, berolahraga di gym pun jika dilakukan dengan benar dan tetap menjaga protokol keamanan, toh akan aman-aman saja juga. Kita yang tau apa yang terbaik buat diri kita kan? Dan saya tahu jika saya tetap di rumah saja dan takut kemana-mana, bisa dipastikan saya yang berjiwa aktif ini bisa stress dan mungkin gila! Hahaha...

Seiring berjalannya pandemi, hasrat mengeksplorasi alam mulai menggedor kembali. Sempat bepergian dengan teman-teman ke Kintamani untuk melihat sunrise menyembul dari balik gunung Batur, blusukan ke hutan dan sungai di Gianyar mencari tanaman, menikmati sunset di pantai, dan akhirnya kembali melaut untuk diving. Ya, saya sangat rindu laut dan isinya. Kerinduan selama berbulan-bulan yang tertahan hingga kadangkala menjadi air mata.

Akhirnya setelah 7 bulan tidak menyelam, dua minggu lalu saya berkesempatan kembali membasahi insang saya yang sudah mulai mengering ini. Sungguh sebuah hal istimewa yang telah lama saya tunggu-tunggu, karena sejak pandemi menyerang negeri ini, seluruh dive operator di Bali tutup dan kegiatan scuba diving sempat dilarang. Namun belakangan mulai ada satu dua dive operator yang mulai buka dan menawarkan dive trip. Saya pun bertolak ke Nusa Penida & Lembongan untuk berburu Mola-mola, ikan istimewa yang hanya mengunjungi perairan Bali di bulan-bulan Agustus & September. 

Dan setelah bertahun-tahun pencarian Mola saya tidak membuahkan hasil, tahun ini saya diberi kesempatan berjumpa dengan si ikan fenomenal itu. Tak hanya satu ekor, tapi 5 sekaligus dalam satu hari penyelaman! Luar biasa... 

Kini, memasuki bulan ke tujuh pandemi alias bulan ke tujuh saya banyak #dirumahaja, saya melihat masih ada banyak hal yang patut disyukuri di balik situasi ini. Terlepas dari begitu banyaknya rencana yang gagal, harapan yang kandas, cinta yang hilang, perekonomian yang macet, saya bersyukur diberi kesempatan belajar dari tahun 2020 ini. 

Belajar untuk legowo, ikhlas, dan berserah diri pada Tuhan yang empunya alam semesta ini. Belajar untuk melihat segala sesuatu dari sisi positif, meski harus susah payah menelan sisi negatifnya. Belajar bersyukur lebih lagi, akan hal-hal kecil yang dimiliki. Belajar merelakan yang tidak dapat dipertahankan. Belajar hidup lebih sehat dengan gaya hidup yang lebih baik. Belajar memahami maksud dari setiap perkara yang saya alami.

Saya percaya, dibalik semua ketidaknyamanan yang kita alami di tahun 2020 ini, Tuhan punya maksud dan rencana. Yang pada akhirnya suatu saat nanti akan kita pahami dan mengerti, “oooh, jadi ini tho maksudnya.”

Tetap semangat dan optimis, kawan! Percaya bahwa tahun 2020 ini adalah tahun pembelajaran untuk kita semua. Di tahun ini kita diminta berproses untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi. And trust God, that there’s a hope of a better future. You just need to be grateful. ;)


Cheers,

And stay healthy!

_Fransisca_


https://drive.google.com/uc?export=view&id=1NYLFUZ4soAWPmHV7xaGefMv8-bVCRTok

Sunset 02-10-2020

Thursday, April 9, 2020

Cerita Lelarian


Bicara tentang kesehatan, tentunya tak lepas dari olahraga. Sebagian besar dari kita tentunya punya olahraga favorit masing-masing. Mungkin sebagian dari kita ada yang suka olahraga indoor seperti Gym atau Yoga, mungkin juga ada yang lebih suka olahraga outdoor, atau ada juga yang suka olahraga rahang saja alias hobi makan. Haha… apapun itu, gaya hidup sehat telah menjadi tren hidup masa kini di segala lapisan masyarakat. Untuk yang mempunyai dedikasi tinggi pada kesehatan tubuh, biasanya diimbangi dengan asupan makanan bergizi. Untuk yang cuek seperti saya, bebas makan apa saja asal masih tetap diimbangi dengan olahraga.

Cerita tentang olahraga favorit, saya sebelumnya tidak punya kesukaan pada salah satu jenis olahraga manapun juga. Bukan berarti saya tidak suka olahraga, saya hanya tidak terlalu memfavoritkan salah satunya. Semasa SD saya suka main Kasti, well itu tergolong olahraga juga kan. Sebut saja softball ala kampung, jika kamu tidak familiar dengan nama Kasti. Lalu SMP saya melahap segala jenis sport pada mata pelajaran olahraga. Ketika SMA serius menekuni olahraga beladiri Tae Kwon Do, tapi hanya sebatas pengisi extra kurikuler saja, bukan hobi jangka panjang. Lalu kuliah dan beranjak dewasa saya mulai belajar berenang, itupun otodidak tanpa di bawah pengarahan pengajar profesional. Saya mulai serius les renang ketika sudah menginjak usia 25 tahun. Itupun karena saya bercita-cita menekuni olahraga ekstrim menyelam. Hahaha… Better late than nothing, ya kan.

Selama 25 tahun saya bernapas, belum pernah sekalipun saya punya inisiatif untuk jogging. Jujur saya tidak pernah suka ketika disuruh berlari dengan kecepatan konstan dalam waktu yang lama. Dulu ketika masih aktif di Tae Kwon Do, pemanasan sebelum latihan adalah berlari beberapa putaran keliling Dojang (tempat latihan), dan itu pun saya selalu yang paling siput di antara yang lainnya. Saya nggak suka ngos-ngosan megap-megap kehabisan napas, itu intinya.

Rutinitas sehat
Namun ketika saya tinggal di Belanda, saya terinspirasi oleh orangtua angkat saya Mr & Mrs M, yang notabene adalah joggers sejati. Mereka selalu menyempatkan waktu untuk jogging 2-3x seminggu dalam cuaca apapun. Panas, hujan, bahkan salju, hajaaarrr…! Jogging apparels mereka pun tidak main-main, lengkap dan mumpuni menyesuaikan cuaca. Bahkan jika mereka berlari di malam hari, mereka selalu membawa lampu kecil yang bisa berkedip-kedip di tempelkan di topi atau lengan mereka. Agar supaya tidak dilanggar pengendara sepeda di pinggir jalan. Maklum pesepeda di Belanda kadang ugal-ugalannya suka nggak masuk akal!

Kala itu di akhir musim semi, ketika cuaca mulai menghangat, saya mencoba jalan sehat di sepanjang jalur jogging Mr & Mrs M. Melalui jalur sepeda yang dinaungi pepohonan di sepanjang kanal di Hillegersberg, saya pun akhirnya paham kenapa banyak orang bisa betah jogging di kota ini. Ketika cuaca mulai sumringah memasuki musim panas, saya memutuskan untuk mencoba jogging. Saya yang tidak mempunyai sepatu olahraga yang layak saat itu, nekat memakai sepatu Converse yang tidak didesain untuk berlari. Setelah berlari sekitar 3KM, kaki saya mulai merasakan blister. Perih-perih sedap memang, namun saya terus berlari mengikuti rute tram menuju pusat kota Rotterdam. Sesampainya di area Noordsingel, saya hanya bisa terpana dan tersenyum lebar bahagia. Bagaimana tidak, rute jogging di Noordsingel itu cantik sekali. Kanal memanjang yang dihiasi beberapa jembatan, pepohonan rindang, rumput terpangkas rapi, bebek angsa yang bermalas-malasan, dan yang paling saya suka adalah deretan pohon sakura yang berbunga. Oh My God!! Kenapa nggak dari dulu saja sih saya jogging ke sini?

Jogging track di Noordsingel

Jogging track di sepanjang danau Bergse Voorplas

Berlari tanpa apparels yang tepat
Setelah melewati rute jogging yang indah itu, rupanya kaki saya merengek minta lepas sepatu. Dan ya, memang saya salah memaksakan diri berlari dengan sepatu Converse. Tumit saya pun lecet memerah dan pedih. Saya pun menyerah dan memutuskan pulang ke rumah dengan naik tram. Sesampai di rumah, ibu angkat saya bertanya kaki saya kenapa. Setelah mendengar cerita saya, beliau dengan baiknya meminjamkan sepatu joggingnya, meski sedikit sempit di kaki saya. Dan di situlah saya kenal sepatu merk Asics. Saya penasaran, seasik apa sih sepatu lari ini. Beberapa hari kemudian saya mencoba berlari dengan sepatu tersebut dan voila… ternyata empuk sekali! Hmmm, suatu hari nanti saya juga kepingin beli ah sepatu Asics begini, pikir saya. Biar rutinitas jogging makin asik! πŸ˜Š

Akhir musim panas ketika saya sedang cinta-cintanya dengan rute jogging sekitar rumah di Rotterdam, saya harus meninggalkan Belanda dan pindah ke Copenhagen, Denmark. Sesampai di negara baru, yang ternyata jauh lebih dingin dari Belanda, saya tidak pernah lagi jogging. Pertama, karena cuaca Scandinavia yang lebih parah dingin dan unpredictable nya ketimbang Belanda. Kedua, karena saya tidak punya jogging apparels yang memadai. Ketiga, karena rute jogging di Copenhagen tidak sedatar di Rotterdam. Ya, Copenhagen punya lumayan banyak tanjakan dan turunan nya. Dan memang saya anaknya rempong, baru mau jogging asalkan begini dan begitu. Haha… Alhasil saya hanya bersepeda saja selama di Copenhagen, dengan jarak yang lumayan membakar kalori setiap harinya. Well, itu juga kan olahraga, hehe… Terbukti selama hampir dua tahun tinggal di Denmark, saya mampu mempertahankan perut rata saya tanpa gelambir lemak yang berlebihan. Kalau sekarang? Hmmm… jangan ditanya. Anaconda dua ekor akan muncul tiap kali saya duduk! Hahaha…

Jogging track Sanur saat sunset time
Setelah saya pindah ke Bali dan mulai ngantor di area Sanur, saya menemukan rute jogging asik di sepanjang pantai Sanur. Selain itu, ada juga rute jogging di lapangan Bajra Sandhi dekat rumah, yang meskipun monoton tapi lumayan lah sebagai alternatif jika tidak sempat ke pantai. Saya pun mulai rutinitas jogging saya dengan jarak pendek untuk pemula. Masih ingat sekali rasanya awal-awal jogging saya cukup kepayahan di 1-2KM awal. Kala itu kocek hanya mampu membeli sepatu lari kelas bawah, Diadora, yang akhirnya menemani hari-hari lari saya dari yang standar 5K sampai yang terjauh 10K. Setelah hampir setahun lelarian ala-ala seminggu sekali, saya akhirnya tertarik ikut event lomba Trail Running. Saya yang biasanya cuma lari di trek jogging, menjadi sangat penasaran dengan keseruan trail run yang konon katanya lebih asik karena rutenya nggak monoton. Bermodal sepatu trail run New Balance (yang sebetulnya saya beli untuk aktivitas naik gunung), saya pun mengikuti event lelarian Trail Run yang diselenggarakan di Desa Taro, Gianyar. Tanjakan, turunan, sawah, pedesaan, jalanan berlumpur, setapak, hingga deretan kandang babi pun saya lalui di rute lari  sejauh 13K tersebut. 

Ada yang lucu di hari itu, dimana di tengah trek lari di kawasan pedesaan, saya muntah-muntah di pinggir jalan. Tim medis sempat tergopoh-gopoh datang untuk memberikan pertolongan pertama ketika melihat saya muntah. Mereka mengira saya mengalami kelelahan atau sakit. Namun faktanya saya muntah-muntah karena baru saja melewati deretan kandang babi yang baunya ampun-ampunan. Saya pun cengar-cengir bilang yang sebenarnya, dan mereka pun tertawa karena memang betul bau kandang babinya sangat menyengat hingga tercium dari jalur trek lari. Perjuangan 13K naik turun medan yang variatif ditambah tragedi kandang babi hari itu akhirnya tidak sia-sia. Itulah pertama kalinya saya mendapatkan medali dalam hidup saya! Yeaayyy... πŸ˜‚

Run Race pertama saya
Berawal dari medali pertama tersebut, saya akhirnya semakin rajin berlari dan terpacu untuk ikut event lomba lari demi mengoleksi medali. Tidak sering sih, hanya 1-2x setahun saya ikut lomba, itupun dengan jarak kisaran 10K saja. Sepatu lari pun mengalami perkembangan ke beberapa brand lain, untuk merasakan perbandingan kualitas dari masing-masing brand. Hingga akhirnya setelah menekuni olahraga jogging selama 4 tahun, saya mampu membeli sepatu lari idaman Asics, yang menurut saya tidak murah itu. Dan sekaligus menjadi sepatu olahraga termahal yang pernah saya beli. :D Puas rasanya akhirnya bisa mewujudkan mimpi punya Asics setelah sekian tahun berselang sejak pertama kalinya mencoba. haha… Next? Saya ingin mencoba sepatu lari Hoka One One, yang menurut para pelari pro mempunyai kenyamanan yang sangat oke terutama untuk lari jarak jauh seperti marathon. Baiklah, saatnya menabung kembali! 😊


Yang bikin lari makin asik
Ngomongin tentang kompetisi, ada begitu banyak event lomba lari di Bali, namun satu yang bikin saya penasaran adalah event Maybank Bali Marathon. Begitu terkenalnya event lari internasional ini, sampai saya selalu saja kehabisan slot tiap tahunnya. Akhirnya saya mendapatkan slot Half Marathon di 2019, itupun setelah terlebih dahulu menjadi nasabah Maybank (demiiii bisa dapat slot ya…). Saya dan teman saya, Mba Siska (iya, namanya kebetulan sama tanpa rekayasa! πŸ˜…) pun bermantab jiwa ikut event lari yang kami idam-idamkan tersebut. Namun di malam sebelum event, Mba Siska mengalami musibah tersiram air panas kakinya. Alhasil dia tidak bisa ikut lari keesokan harinya. Lalu bagaimana? Sayang sekali donk slot larinya mubazir satu. Hmmm… untungnya saya punya teman baik hati yang mau ditodong menggantikan salah satu dari kami. Setelah berunding sejenak, akhirnya diputuskan bahwa saya akan menggantikan Mba Siska untuk berlari di 10K, dan Duwi akan menggantikan saya di 21K Half Marathon, tanpa persiapan! Pingsan pingsan dah tuh! 😝 (maap ya Duwi, kamu dikorbankan hahaha).


Pada hari H event, kami sudah bersiap di garis start sejak pukul 4 dini hari. Ya, kebanyakan event run race memang selalu mengambil start subuh agar acara dapat dirampungkan sebelum tengah hari. Maklum Indonesia kan negara tropis yang terletak di garis equator, yang mana jam 11 siang saja matahari sudah luar biasa terik. Terlebih di Bali yang matahari nya ada 3 seperti di Planet Namek! 😁
Hari itu, ada sekitar 11.000 peserta yang ambil bagian dalam event lari ternama tersebut. Ya, sebelas ribu manusia! Tidak main-main bukan? Rasanya hari itu saya sedang berlari di pasar senggol, mau ngebut nabrak, giliran santai ditabrak. Hahaha...

Sepanjang trek, saya beberapa kali berpapasan dengan kenalan sesama solo runners. Banyak juga pelari yang mewakili organisasi atau komunitas tertentu. Ada yang memakai baju jersey kelompok atau komunitasnya masing-masing, sembari meneriakkan yel-yel masing-masing. Ada yang berlari sambil menyerukan "I RUN FOR CANCER!!", ada yang "I RUN FOR POLIO!!", dan lain sebagainya. Saya pun tak mau kalah ikut-ikutan berseru "I RUN FOR AIR PANAAASSSS!!" πŸ€£ Sontak beberapa pelari yang ada di sekitaran saya menoleh heran dan tertawa. Mungkin bertanya-tanya 'Mbaknya kurang oksigen atau butuh Aqua kali ya?' Hahaha...

"I Run For Air Panas!!"
1km dari garis finish, Mba Siska mengabari saya bahwa dia sudah siap menunggu di garis finish. Bukan main semangat wanita satu ini, sudah tersiram air panas masih saja nekat datang ke event hanya untuk memberi semangat dan menyambut teman-teman nya di garis finish! Tiba di garis finish, Mba Siska dengan kaki berperban nya telah melambai-lambaikan tangan menyambut saya. Senang juga ya rasanya ada yang menyambut di garis finish! Maklum, ini merupakan yang pertama kalinya buat saya hehe... Dan, medali saya hari itu khusus saya hadiahkan ke Mba Siska yang semangat berlarinya mampu menaklukkan luka air panasnya untuk tetap datang ke race arena meski hanya untuk menonton saja. πŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌπŸ‘πŸΌ

Pandemi Corona yang saat ini tengah menghantam dunia global pun berdampak pada beberapa run race event di seluruh dunia. Event Tokyo Marathon dengan 30.000 peserta tak luput kena imbasnya. Tak perlu jauh-jauh, event olahraga Bali Triathlon yang seyogyanya diadakan di Bali awal April kemarin pun dibatalkan dan dijadwalkan ulang pada Juni. Slot lari yang sudah saya daftarkan akhirnya dengan terpaksa saya refund, karena Juni saya sudah mendaftar untuk event lari yang lain yaitu Bali Trail Run. Saya pun dengan berat hati harus memilih salah satunya.

Di tengah masa karantina yang sudah masuk di minggu ke-3 ini, saya yang tidak lagi bisa jogging sore-sore di pantai ataupun di lapangan, harus rela hanya jalan pagi bolak-balik sepanjang gang depan rumah sambil berjemur di pagi hari. Yang penting badan tetap bergerak meskipun lockdown di rumah. Toh berjalan di gang depan rumah juga nggak berpapasan dengan orang lain, jadi aman saja untuk mondar-mandir. Selain itu juga jika sedang tidak malas, workout di rumah bisa jadi pilihan alternatif untuk bergerak. Kalau kamu, apa rutinitas olahragamu selama karantina?
Apapun jenis olahraga pilihanmu, tetap jaga kesehatan ya di tengah pandemi ini. Semoga semua tetap sehat dan semoga teror Corona segera berakhir. Amin... πŸ™πŸΌ


Salam,
Fransisca


Thursday, March 26, 2020

Corona Pause Button

Seperti kita ketahui, saat ini bumi sedang mengalami sebuah krisis yang diakibatkan oleh pandemic virus COVID-19 atau yang lebih dikenal dengan nama Corona. Tiga bulan sudah penjuru dunia digegerkan oleh Corona yang mematikan ini. Penyebarannya yang sangat cepat membuat banyak negara mengambil keputusan lockdown atau menutup sementara negaranya hingga wabah mampu diatasi. Roda perputaran ekonomi dunia pun terganggu, di semua sektor bisnis.

Saya yang berkecimpung di dunia bisnis pariwisata pun sangat merasakan dampaknya. Tanpa kulonuwun atau aba-aba, badai krisis Corona seketika mengguncang stabilitas bisnis pariwisata. Ditutupnya banyak negara mengakibatkan dibatalkannya begitu banyak trip wisata di Indonesia. Praktis kami pun kehilangan rutinitas pekerjaan kami dengan tidak adanya wisatawan yang masuk ke Indonesia. Kami pun dengan berat hati bersedia mengikuti anjuran pemerintah untuk bekerja dari rumah. Jika pemerintah menyarankan Working from Home selama dua minggu, kantor pusat global perusahaan tempat saya bekerja mengharuskan karyawannya untuk di rumah selama empat minggu.

Situasi di Bali, tempat saya tinggal, sejauh ini masih kondusif. Meski sepi wisatawan, kehidupan lokal tetap berlangsung seperti biasa. Memang perekonomian terasa tersendat, namun kami masih positif bahwa Bali akan mampu bangkit dari krisis Corona ini, mengingat kami pernah mengalami krisis-krisis lain yang tak kalah menakutkannya. Sebut saja krisis bom Bali, erupsi Gunung Agung, atau gempa bumi. Kesemuanya memang berdampak buruk pada pariwisata, namun lambat laun denyut perekonomian akan kembali normal. Harapan yang sama pun kami gantungkan untuk krisis Corona yang saat ini tengah merasuki Indonesia.

Good thing is, di Bali tidak terjadi fenomena panic buying seperti yang terjadi di negara-negara lain. Tissue toilet pun masih banyak tersedia di pasaran, ya tentu saja karena orang Indonesia lebih akrab dengan air ketimbang tissue untuk urusan buang hajat! πŸ˜› Saat ini yang langka di pasaran adalah sabun cuci tangan dan hand sanitizer. Masyarakat Bali pun masih tergolong disiplin dan nurut ketika dianjurkan untuk #DiRumahAja. Sementara di daerah lain, contohnya kota metropolitan, masih banyak warganya yang menganggap enteng virus Corona ini dengan masih santainya eksis di acara kumpul-kumpul massal.

Menyinggung mengenai trending hashtag #DiRumahAja yang belakangan marak muncul di sosial media warganet Indonesia, banyak daripada teman-teman yang akhirnya merasakan rasanya working from home alias kerja dari rumah. Termasuk saya tentunya! Berbagai komentar dan cerita saya dapatkan dari teman-teman yang sudah memulai karantina mandiri dan WFH #DiRumahAja satu minggu lebih awal dari saya. Ada yang mampu berdamai dengan rasa bosan, ada yang hampir gila karena bosan, ada yang lebih banyak main-mainnya ketimbang kerjanya, ada yang justru semakin produktif kerjanya, ya macam-macam lah yang mereka rasakan. Saya sendiri baru mengambil langkah karantina mandiri sejak Senin 23 Maret 2020, dua hari menjelang Hari Raya Nyepi.

Dua hari menjelang karantina, saya gunakan untuk mempersiapkan stok bertahan hidup selama dua minggu. Bahan makanan, groceries, lauk pauk, dan sayur mayur telah saya siapkan. Hari-hari pertama karantina saya berjalan dengan mulus. Rutinitas harian saya hanya seputar masak, makan, tidur, nonton serial drama, baca buku, dan sesekali cek email jika ada pekerjaan yang harus ditangani. Bosan? Belum… Hingga masuk ke hari ke-3 karantina yang jatuh pada Hari Raya Nyepi di Bali. Saya yang sudah beberapa tahun belakangan ini selalu kabur dari Bali ketika Nyepi, kurang update bahwa ternyata sekarang pemerintah menutup akses jaringan internet di hari Nyepi. Ulala… saya pikir hanya internet pada simcard saja yang akan diputus jaringannya, ternyata internet di WiFi rumah pun juga diputus. Wah, mau ngapain nih 24jam di rumah tanpa akses internet, TV, bahkan radio? Pikir saya. Hmmm… sempat kecewa juga ketika tahu seluruh jaringan internet tidak berfungsi, namun saya flashback ke masa-masa ketika saya masih aktif dengan kegiatan naik gunung. Kala itu, saya mampu hidup selama berhari-hari tanpa internet, jadi kenapa sekarang harus tidak bisa? Oke baiklah, saya pun akhirnya menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga, membaca buku, menulis blog, dan lain sebagainya. Mungkin ada baiknya juga saya yang sudah addicted dengan internet dan sosial media ini sekali waktu melakukan detox internet. Efek yang saya rasakan 24jam tanpa internet dan #DiRumahAja adalah pikiran jadi lebih relax, aktivitas mengerjakan pekerjaan rumah jadi lebih produktif, dan saya bisa konsen nulis blog lagi. 😊

Pernah tidak terpikirkan oleh kamu, masa-masa lockdown atau karantina ini sebetulnya merupakan kesempatan kita untuk melakukan hal-hal yang selama ini belum sempat kita lakukan? Untuk saya pribadi, dapat kesempatan satu bulan #DiRumahAja begini membuat saya makin semangat untuk mewujudkan hal-hal yang sempat terpending bertahun-tahun lamanya akibat kurangnya waktu yang saya miliki di rumah. Salah satunya ya menulis. Menulis blog atau bahkan sebuah buku, merupakan salah satu passion saya yang sulit saya wujudkan ketika saya sudah bekerja full time di kantor. Kini saatnya jemari saya kembali menari menuangkan kata-kata, merangkai cerita, untuk para pembaca setia blog Travelustory. Syukur-syukur kalau selama sebulan ini saya dihinggapi mood yang luar biasa bagus, sehingga mampu melanjutkan proyek nulis buku saya. Hmmm… kita lihat saja selama sebulan ke depan, apa saja yang bisa saya lakukan ya.

Menengok ke berbagai berita di seluruh dunia mengenai global lockdown dimana warga dianjurkan bahkan diwajibkan untuk tetap di rumah saja, saya melihat beberapa fenomena alam yang memberikan kehangatan di dalam hati saya. Di Italia, negara yang terdampak paling parah dalam wabah Corona ini, melaporkan bahwa tingkat kejernihan air di kanal-kanal kota Venice mengalami peningkatan yang cukup drastis. Jika biasanya air kanal tersebut berwarna hijau keruh, semenjak lockdown air kanal berangsur-angsur menjadi jernih dan berwarna hijau kebiruan dengan ikan-ikan yang mampu terlihat dari permukaan. Menurut warga lokal, hal ini merupakan yang pertama kalinya terjadi sepanjang masa. Tak hanya itu, ikan lumba-lumba pun terlihat berenang dengan bebas di sekitar perairan kota Venice. Hal yang tidak pernah terjadi sebelumnya dikarenakan lalu lintas air kota Venice yang selalu sibuk dan tak pernah sepi.

Tak hanya di Italia, di berbagai belahan bumi pun dilaporkan bahwa tingkat karbon emisi dan polusi udara di bumi mengalami penurunan drastis, langit terlihat biru di beberapa kota dengan tingkat polusi terparah, angsa dan burung liar kembali berkeliaran dengan santai di sungai-sungai, dan berbagai fenomena alam lainnya. Keseimbangan alam mulai terlihat di sana-sini. Sungguh alam telah mengambil alih porsinya, yang selama ini telah dikuasai dengan serakah oleh manusia.

Mungkin banyak atau bahkan hampir semua dari kita menganggap wabah Corona ini sebagai momok bagi kelangsungan hidup kita. Dengan macetnya perputaran roda ekonomi, kita pun menjadi khawatir akan nasib kita selanjutnya dalam masa krisis ini, begitu juga dengan saya. Namun setelah menjalani karantina mandiri #DiRumahAja, ditambah dengan Nyepi tanpa akses internet dan berbagai media, saya merenungkan maksud di balik terjadinya wabah ini.

Kita manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling berakal dan berkemampuan, tanpa kita sadari telah mengeksploitasi bumi secara masif. Keserakahan manusia dalam berinovasi, membangun, dan mengembangkan hidup, berujung pada terkikisnya alam dan sumber daya di muka bumi. Planet kita tak lagi hijau, selaput atmosphere pun menipis, dua kutub penyeimbang suhu bumi pun mulai mencair. Tak perlu pura-pura menutup mata, itulah yang tengah terjadi pada bumi kita. Eh, tunggu dulu! Sebelum kamu memutuskan untuk berhenti membaca tulisan ini karena bosan dengan trending topic nya Greta Thunberg mengenai climate change, saya cuma mau bilang kalau tulisan ini nggak akan membahas soal itu koq. Hehehe…

Ada hal-hal positif yang dibawa oleh Corona. Merebaknya wabah ini mengharuskan kita untuk tinggal di rumah, dengan kata lain menjadikan kita kembali dekat dengan keluarga. Jika kamu selama ini sibuk berkarier, menghabiskan sebagian besar waktumu untuk bekerja, hingga sangat sulit berkumpul dengan keluarga, maka kini saatnya kamu bisa kembali dekat dengan keluarga di rumah. Jika kamu selama ini mempercayakan anak-anakmu belajar di sekolah lalu lanjut les kumon atau aktivitas extra kurikuler, kini saatnya kamu menjadi guru sekaligus teman bagi anak-anakmu. Jika kamu selama ini terlalu sibuk berkegiatan di luar rumah hingga tak punya waktu untuk mengurus rumah, maka kini saatnya kamu mengerjakan pekerjaan rumah seperti bersih-bersih, berkebun, memasak, dll. Jika selama ini kamu cukup cuek habis pegang uang langsung ngupil, kini kamu jadi lebih sering cuci tangan dan menjaga kebersihan. Jika selama ini ruang udara dipenuhi asap knalpot dan emisi industri, kini saatnya pepohonan mengambil alih karbon dan menghembuskan oksigen ke penjuru bumi. Jika selama ini planet bumi tersakiti oleh mobilitas kita yang terlalu tinggi, kini di masa global lockdown ini biarlah bumi bernafas kembali. Alam butuh istirahat dari campur tangan manusia. Hendaknya kita tidak lupa, bahwa kekuatan terbesar di muka bumi ini bukanlah di tangan kita, melainkan di tangan alam semesta, dengan Tuhan lah sebagai pemegang kontrolnya. Dan kini, tombol ‘pause’ sedang diaktifkan melalui wabah Corona ini untuk menyeimbangkan kondisi bumi. Dengan harapan, ketika krisis ini berlalu kita mampu hidup dengan tatanan baru yang lebih baik.

Tetap semangat kawan! Krisis ini akan segera berlalu. Tetaplah berkarya meski #DiRumahAja. Harapan saya, setelah kita keluar dari masa karantina ini, banyak ide-ide segar dan kreatif yang tercipta. Dan semoga nantinya, setelah semua kembali normal, kita dapat menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Jadikan Corona ini sebagai pembelajaran untuk membenahi ketidakteraturan hidup kita. Agar kedepannya, bersama kita bisa saling menjaga tak hanya diri sendiri, namun juga sesama manusia dan terlebih lagi, Planet Bumi itu sendiri.
Semoga kita semua tetap sehat, dan jangan lupa cuci tangan!

Social distancing & wash your hands!


Salam,
Fransisca

Saturday, February 22, 2020

Menggapai Mahameru

Beberapa tahun lalu saya sempat menulis tentang kecintaan saya pada alam, baik itu darat maupun laut. Yang belum sempat baca mungkin bisa intip di sini Lucky I'm in love with... Nature!
Tulisan itu saya buat ketika masih tinggal di Denmark, yang alamnya punya empat wajah mengikuti pergantian musim. Kala itu, saya tidak pernah membayangkan bahwa pada akhirnya saya akan betul-betul menekuni hobi yang masih jarang dilakoni oleh perempuan Indonesia pada umumnya, yaitu mendaki gunung dan menyelam. Namun kali ini saya akan bercerita mengenai bagaimana saya bisa jatuh cinta pada gunung terlebih dahulu ya.

Tahun berganti dan akhirnya pulanglah saya ke negeri tercinta untuk mengabdikan ilmu dan passion saya bagi Indonesia. Bali menjadi pilihan saya untuk menetap sepulangnya saya dari perantauan. Tinggal di sebuah pulau dengan pesisir pantai cantik, sawah hijau berundak, sekaligus gunung hutan dan segala isinya, membuat saya menambatkan hati pada Pulau Dewata. Saya menghabiskan bulan-bulan pertama tinggal di Bali dengan menjelajahi pantai-pantainya, air terjun nya, perbukitannya, bahkan nekat keliling Bali nyetir motor sejauh 219KM seharian. Sungguh Bali itu punya inti jiwa yang mampu membuat jatuh hati siapapun yang mengenalnya.

Verbena dan Ranu Kumbolo

2015 saya mulai berkenalan dengan pegunungan. Diawali dari Ijen dan Batur, saya yang aslinya bukan anak gunung sejati ini seketika baper ketika berdiri di atas gunung yang tidak seberapa tinggi tersebut. Melihat keindahan alam yang unimaginable dari atas gunung membuat saya bertekad untuk menjelajahi gunung-gunung lain di Indonesia. Dan akhirnya, atas seijin Tuhan Yang Maha Kuasa, kaki kecil ini mampu menjejak di beberapa gunung Indonesia. Atap tertinggi Jawa, Bali, dan Lombok, serta gunung-gunung lain di tanah Jawa telah masuk ke dalam deretan memori pendakian tak terlupakan. 


si ganteng gagah menawan hati, Mahameru!

Namun yang paling memorable adalah Semeru, dimana saya menemukan sebuah keluarga baru dalam pendakian 4 hari 3 malam tersebut. Ber-11 kami yang bertemu dalam sebuah open trip pendakian Semeru, berakhir menjadi lebih dari sekedar teman pendakian. Kami menjadi sebuah keluarga bernama Rimba Nusantara atau yang kami sebut RINTARA. Sungguh, sebuah pendakian sejatinya bukan tentang puncak, melainkan tentang perjalanannya itu sendiri. Kekompakan yang terjalin sepanjang perjalanan membuahkan hasil Puncak Mahameru 3.676mdpl, atap tertinggi sekaligus paku Tanah Jawa!

cikal bakal Rintara - Ranupani, 2017

Perjuangan menggapai Mahameru tidaklah semulus wajah skincare. Sekitar 7 jam kami berusaha menaklukkan diri sendiri di rute berpasir dan berbatu, dengan bayang-bayang jurang maut Blank 75 yang terkenal banyak memakan korban jiwa tersebut. Namun niat setulus hati ketika menjejakkan kaki di pintu gerbang Ranupani dan kulonuwun terlebih dahulu, membuat saya tidak memicingkan mata menatap kegelapan mencekam di kanan kiri saya ketika melewati jalur setapak di tepian Blank 75 tersebut. Lelah fisik dan lelah emosi bercampur menjadi satu ketika matahari mulai terbit namun kami masih saja berada di jalur puncak Mahameru. Tak terlihat tanda-tanda kaki ini akan tiba di puncak, hanya terdengar seruan-seruan penyemangat dari sesama pendaki yang saling mencoba mengobarkan kembali semangat kami yang sudah mulai padam ditiup angin dingin membeku. Tyas, si Macan Semeru, gadis sependakian kami yang telah akrab dengan Mahameru, terus menerus menyemangati rombongan dengan kata-kata "ayo woy! Dikit lagi itu abis batu gede sampe!". Ya gitu aja terus Yas, sampe yang denger bosen pengen nangis gak sampe-sampe! πŸ˜…

jalur menuju puncak Mahameru

Tinggal beberapa meter dari bibir puncak, emosi saya sudah mulai setipis tissue. Ingin rasanya memutuskan berhenti dan menangis di jalur itu. Bagaimana tidak? Maju selangkah mundur dua langkah. Begitu saja terus sampai tenaga dan emosi habis. Pasir vulkanik Mahameru sungguh membuat perjuangan menggapai puncak Semeru terasa lebih berat ketimbang menggapai puncak pelaminan! (eh maap, koq malah curcol! 😝)
Namun di situlah saya melihat teman-teman seperjuangan yang saling bahu membahu dan tidak egois memikirkan diri sendiri, saling menarik satu sama lain, perlahan menggapai si batu besar yang Tyas bilang tadi. Sesampainya di bibir batu yang merupakan celah naik ke tujuan akhir, saya sudah betul-betul tak mampu lagi memanjat karena ukuran batu itu lebih tinggi dari kepala saya. Setitik air mata sudah jatuh membayangkan perjalanan seberat itu akan berakhir sia-sia. Namun tiba-tiba ada seorang pendaki berbadan tambun, langsung jongkok di hadapan saya dan bilang "injak saja punggung saya mbak, ayo! Mahameru di depan mata! Cepat mbak, naik!". Saya yang masih bingung harus bagaimana, tau-tau sudah di dorong teman-teman saya menaiki punggung si mas tambun tadi dan voila... saya tersungkur di sebuah tanah datar selebar lapangan bola. Ya, Mahameru... Puncak Para Dewa, dataran tertinggi Pulau Jawa terbentang di depan mata saya dengan kepulan asap dari kawah Jonggring Saloka yang megah!

Dataran tertinggi Tanah Jawa - Mahameru

Langkah kaki ini tersaruk-saruk menapaki Mahameru, air mata sudah membanjir, bibir tak mampu berkata-kata, telinga tak mampu menangkap suara. Hanya rasa kagum dan syukur yang terus terucap dalam hati, karena hanya seizin Nya lah kaki ini mampu berdiri di tanah tertinggi Pulau Jawa. Dan Mahameru adalah puncak pertama saya di gunung dengan ketinggian 3000an meter. Jadi bapernya memang luar biasa sih! Hahaha. 
Saya berusaha mencari-cari si mas tambun yang telah menolong saya tadi untuk menyampaikan terima kasih, tapi entahlah saya tidak bisa mengenalinya di antara kerumunan pendaki yang tengah menandak-nandak berbahagia di sana. Jika mas tambun kebetulan membaca tulisan ini, saya mau berterima kasih atas punggung yang telah bersedia saya injak di pintu gerbang Mahameru, 1 Mei 2017 lalu. Maturnuwun, mas!! Aku padamu. 😘

speechless!

Jonggring Saloka
main ski pasir menuruni Mahameru

Mengais memori tentang Semeru, hal apa yang paling pertama melintas di kepala kalian jika mendengar satu kata "Semeru"? Pasti kebanyakan langsung menjawab entah Ranu Kumbolo nya duluan atau Mahameru nya. Tapi buat saya, ketika ingatan ini terlempar kembali ke Semeru, yang saya ingat pertama adalah Semangka! Hahaha... Lho koq semangka sih? Ya iya, soalnya cuma di Semeru saja yang ada dagang semangka potong di sepanjang jalur pendakian sampai di Kalimati, bahkan di dalam hutan dekat batas vegetasi. Jika pendaki perempuan lain mungkin akan gaspol ketika dikasih semangat oleh pacar atau gebetan selama pendakian, nah saya cukup diiming-imingi semangka potong di setiap pos peristirahatan, bisa langsung gaspol ngebut jalannya! Hahaha... Memang dasar bocah tukang makan! Dan semangka ternikmat di sepanjang jalur Semeru adalah di warung setelah Tanjakan Cinta, dan di lapak bawah pepohonan vegetasi setelah turun dari Mahameru. Kenapa? Apakah jenis semangka nya premium? Nggak juga... Cuma perjuangan mendapatkannya yang bikin rasa semangka jadi makin manis melebihi janji manismu! πŸ˜†

Bicara tentang Semeru nggak afdol kalau nggak menyinggung si cantik Ranu Kumbolo. Kami berkesempatan menginap 2 malam di Rakum, di dua spot berbeda. Di malam pertama, kami buka tenda di sisi timur danau, dimana pagi hari nya view kami adalah kepulan asap dari kawah Jonggring Saloka. Sedangkan di malam terakhir, kami buka tenda di sisi barat danau dengan view pagi harinya matahari terbit menyembul di sela-sela punggung bukit. Mirip seperti yang sering kita gambar sewaktu kecil dulu. Ranu Kumbolo, dibalik keindahannya yang bikin betah, juga punya sisi menantangnya sendiri, yaitu temperaturnya. Ya, Rakum terkenal sebagai tempat bermalam yang sangat dingin dalam pendakian Semeru, terutama di musim kemarau. Suhu bisa drop ke minus dan kita bisa melihat butiran embun yang menjadi salju di pagi  harinya. Namun apapun kondisinya, Rakum tetaplah menjadi daya tarik utama Semeru selain Mahameru itu sendiri.

sisi timur danau Ranu Kumbolo

sisi barat danau  Ranu Kumbolo

bonus sunrise cantik khas Ranu Kumbolo

Lalu apa kabar dengan Tanjakan Cinta? Hmmm... Sebelum pendakian saya sudah was was membayangkan akan setinggi dan securam apakah si tanjakan yang terkenal dengan mitosnya itu. Tanjakan di sebelah barat Rakum ini adalah jalur menuju Oro-oro Ombo yang belakangan menjadi spot foto favorit dengan hamparan bunga Verbena ungunya. Mitos mengatakan, jika kamu mampu melalui Tanjakan Cinta tanpa sekalipun menengok ke belakang, maka permohonan cintamu akan terkabul. Kamu percaya? Ah, saya sih sedang tidak ada permohonan apa-apa, apalagi permohonan cinta. Namun saya punya satu motivasi untuk segera menaklukkan Tanjakan Cinta itu, yaitu SEMANGKA! Hahaha... Ya, di ujung tanjakan itu ada warung yang menjual gorengan dan semangka potong. Jadilah saya menapaki tanjakan itu dengan bayangan semangka di benak saya. 😝 
Apakah saya menoleh ke belakang? Oh ya jelaaasss! Rugi kalau nanjak Tanjakan Cinta nggak nengok ke belakang. Karena view Ranu Kumbolo tercantik adalah jika dilihat dari spot Tanjakan Cinta ini. 😍 Ternyata Tanjakan Cinta tidak semengerikan 7 Bukit Penyesalan di Rinjani koq. Hehehe...


Tanjakan Cinta menuju Semangka! πŸ˜‚

Sungguh begitu banyak cerita yang terekam di kepala dalam setiap pendakian, yang tak mampu saya tuangkan sekaligus di sini. Mungkin di lain kesempatan saya akan ceritakan highlight dari setiap gunung yang saya daki, cerita-cerita seru di perjalanan nya, teman-teman baru yang saya temui, atau sekedar berbagi foto keindahannya saja. 

Akhir kata, selain memori yang indah, saya mendapat keluarga baru saya, keluarga Rimba Nusantara. Sejak 2017, Rintara setiap tahunnya mengadakan reuni, tak hanya di gunung namun juga di pelaminan alias kondangan. Dan tahun 2019 lalu adalah reuni terunik kami karena kami berhasil mengulang formasi foto di puncak Mahameru menjadi di puncak pelaminan, ketika Dimas salah satu keluarga Rintara menikah. Semoga kekerabatan yang terjalin di Semeru ini akan langgeng sampai ke anak cucu kami, yang nantinya kami harapkan akan bisa mendaki gunung-gunung Indonesia seperti orangtua mereka. Karena kita tidak mewariskan alam ini pada anak cucu kita, melainkan kitalah yang meminjamnya dari mereka. Oleh karena itu, jagalah kelestarian alam Indonesia agar anak cucu kita nanti masih bisa menikmatinya.

Salam Lestari!!

formasi Mahameru

Puncak Mahameru vs Puncak Pelaminan 😬

Pendaki Santuy


Sunday, January 19, 2020

Hi ¤ ber ¤ nate

Hibernate atau dalam bahasa Indonesia Hibernasi, adalah masa tidur panjang dan tidak aktif dalam kurun waktu tertentu. Sama seperti blog ini, yang telah tidur selama kurang lebih 3 tahun lamanya. Banyak dari para pembaca setia yang bertanya ke saya mengapa saya berhenti menulis, kenapa tidak ada lagi cerita-cerita petualangan saya, kenapa blog ini seakan terbengkalai. Well, here I am! Mari kita kembali bercerita. :)

2016 adalah kali terakhir saya memposting sebuah tulisan di blog ini. Yaitu tulisan mengenai alam bawah laut Indonesia, dan merupakan tulisan pertama saya dalam bahasa Inggris di blog ini. Ketika itu saya baru saja mendapatkan Surat Ijin Menyelam saya - ya, menyelam juga ada SIM nya lho! Setelah saya mendapatkan PADI Open Water Diver license, saya mulai menjelajahi alam bawah laut. Dan dari sana lah inspirasi untuk menulis tentang underwater itu muncul.

Namun ternyata tulisan itu, yang juga telah dimuat di sebuah travel website di Belanda, menjadi tulisan terakhir saya sebelum memutuskan untuk hibernasi. Banyak faktor yang membuat saya berhenti sesaat dari dunia tulis menulis. Faktor waktu dan kesibukan lah tepatnya. Bekerja full time di kantor, padatnya jadwal kegiatan di luar kantor, intensnya jadwal bepergian, yang kesemuanya campur aduk dalam rutinitas keseharian membuat saya tak punya energi lagi untuk membuka laptop pada malam hari dan merangkai kata. Sepertinya inspirasi untuk menulis itu menguap begitu saja berbarengan dengan energi dan pikiran yang juga tersita.

Rindu kah saya untuk menulis lagi? Tentu saja... Beberapa kali saya mencoba menulis kembali, tentang petualangan saya di gunung-gunung Indonesia dalam 3 tahun terakhir, namun semuanya hanya berakhir dalam bentuk draft, tanpa sukses saya publikasikan. Kenapa? karena saya merasa ada sesuatu yang hilang dari tulisan saya. Ada sebuah rasa yang sedikit hambar dan tawar, tak lagi menggigit. Kalau kata netijen jaman now, rasanya ambyaaarrrrr! Hahaha... Mungkin rasa yang hilang itulah yang dinamakan passion. Saya akui passion menulis saya menguap di beberapa tahun belakangan ini. Mungkin karena saya terlalu sibuk mengejar begitu banyak hal, hingga seolah 24 jam waktu tidak cukup bagi saya. Fransisca yang dulunya suka menulis konten artikel online, kontributor writer di beberapa media online, freelance journalist yang tulisannya dibayar, seolah tertidur pulas terbuai nikmatnya kehidupan santuyyy di pulau tropis negara berflower ini!

Sempat juga saya membuat website dengan nama travelustory.id. Namun saya juga bingung mau saya apakan website tersebut. Konsep di kepala saya tentang sebuah website yang saya impikan tidak mampu tertuang sebagaimana mestinya. Akhirnya saya pun memutuskan untuk me-nonaktif-kan web tersebut tanpa tahu kapan akan saya garap kembali kontennya.

Sempat juga memutuskan untuk tidak lagi menulis blog tetapi akan menulis buku tentang petualangan saya di Eropa. Bukan buku panduan wisata, tetapi lebih ke cerita hidup dan pengalaman unik selama saya tinggal di sana. Karena sempat terbersit, kalau tulisan saya bisa dijadikan uang, kenapa saya harus terus menulis gratisan di blog? Sudah juga selesai menulis 3 chapter, tapi tidak lagi dihinggapi inspirasi untuk lanjut ke chapter selanjutnya. Akhirnya proyek nulis buku pun mangkrak.

Ketika tren vlog mulai menjamur di dunia maya, banyak vlogger dan youtuber yang mendadak ngartis dan terkenal karena konten video mereka. Banyak juga teman-teman yang menyarankan saya untuk ngevlog di youtube. Katanya, ngapain kamu cuma eksis di Intragram story? Mendingan jadiin youtube, nanti kan bisa dapat bayaran kalau subscribernya banyak. Well, ada benarnya juga sih. Tetapi ya itu tadi,kesibukan telah membuat saya tidak punya waktu lagi untuk mantengin laptop guna mengedit video agar layak tampil di youtube channel. Alhasil saya masih tetap setia dengan konten instastory saya yang gak menghasilkan uang tersebut hahaha... But I feel comfortable with that, so why not?

Kemudian ada seorang sahabat dari sebuah komunitas pertemanan positif mengingatkan saya, bahwa passion itu harus tetap dinyalakan, jangan sampai padam. Dia mengencourage saya untuk kembali menulis, meski belum mampu untuk menulis sebuah buku - yang artinya dapat mengasilkan uang, namun jika tulisan di blog nantinya bisa memberikan inspirasi bagi orang lain, kenapa tidak diteruskan? Begitu katanya. Happiness is not about money. Yang akhirnya belakangan ini saya menyadari, bahwa mampu menginspirasi orang lain untuk melakukan hal yang positif, ternyata juga bisa memberikan kebahagiaan tersendiri. Trust me, there are so many things in this world that could not measured by money.

Dan setelah pergumulan antara pikiran dan kesibukan selama beberapa waktu belakangan ini, di tahun ini saya memutuskan untuk kembali merangkai kata, kembali berbagi cerita tentang apa saja. Mungkin bukan hanya tentang traveling, tetapi hal-hal lain juga yang mungkin bisa menginspirasi teman-teman pembaca, dalam hal positif tentunya. Bukan untuk jumawa atau merasa digdaya, hanya ingin berbagi cerita dari sudut pandang seorang Fransisca.

Jadi, mau mulai cerita dari mana kita? ;)

Hello, readers! How have you been?

Monday, December 19, 2016

Wandering Indonesia... Found an Underwater Heaven!

Indonesia consists of 36% of main land and islands, and 64% of sea. So, besides having a range of beautiful landscapes and volcanoes, Indonesia also has countless water resources and underwater beauties. Not to mention the beautiful beaches stretch along the country, for Indonesia is the biggest archipelago country in the world. 

As an Indonesian, I am aware that my country is an epicenter of biodiversity, hosting a greater variety of marine life than anywhere else on earth. Having bunch of dive sites throughout the archipelago, Indonesia provides many kinds of diving style to try. From challenging drift diving, extensive reef diving, amazing night diving, unique muck diving, and stunning steep walls to enjoy. This fact makes me curious of knowing more of the underwater world and decided to take a diving license to explore deeper and longer.

Diving at Coral Garden, Tulamben.
 
Against the gravity in USAT Liberty Ship Wreck, Tulamben
And once I saw how underwater world looks like, I never stop craving for more dives in my life. Since I live in a beautiful Bali island, which surrounded by some popular dives area, I usually go for a dive trip every few months. Tulamben, Amed, Padang Bai, and Menjangan Island are the perfect option for recreational dive as well for beginner divers. For the adventure seekers and big fish lovers, Nusa Lembongan and Nusa Penida Island in Bali or small islands in south west Lombok are the answer. So far, my favorite dive sites are Tulamben with its Ship Wreck and Nusa Penida with its Manta Point. Diving with some Manta Rays surrounds me gives a special sensation and makes me more grateful for a chance to see such a beautiful giant fish yet friendly. 

Manta Ray at Nusa Penida

When I’m not diving, snorkeling and skin diving are my other water activities. With its pristine water, Bali and Lombok offer the easiest way to enjoy the underwater. You can get in a glass bottom boat, and enjoy the trip to the snorkeling spot by watching the underwater life beneath your feet. 

Reginald & Given; enjoy snorkeling at Tabuhan Island, East Java

Skin diving at Menjangan island
 
Free dive into an eternal silence in the blue sea
Of course Bali and Lombok are not the only underwater paradise in Indonesia. There are a lot more destinations that have different beauty to offer. East Indonesia is famous with its underwater heaven. From Karimun islands in East Java, Wakatobi islands in Celebes, Mollucas islands, Nusa Tenggara islands, until the famous Raja Ampat in West Papua islands. Not to mention, underwater of Weh island in the very west of Indonesia also surprisingly beautiful. All of them offer you the stunning underwater experience that you will never forget. 

Diving at Tulamben

Spare your time to enjoy the sea and underwater when you visit Indonesia. If you want to peep a bit of underwater beauty, take a snorkeling tour. By floating with mask and snorkel, you already can see the corals and colorful fish decorating the underwater world. If you are curious what lies down there and want to explore deeper, take a diving lesson to get a license. Or if you only have limited time, join in a Discover Scuba Diving trip. It allows you to dive up to 12 meters without holding the license. And trust me, once you get down there and see the underwater beauty, you will never see the world in the same way you see it before! 

Pose with Yellow Sea Fan
 
Lion Fish (photo courtesy by Reginald)

Underwater macro photography by Reginald
Beautiful empty beach at Tabuhan island


   
Menjangan island underwater (photo courtesy by Reginald)

Recent Post

2020 so far...

02 October 2020 Tak terasa waktu bergulir hingga memasuki trimester terakhir di tahun yang luar biasa ini. Sudah sampai mana perjalananmu di...

Popular Post