Suhu sore itu lumayan hangat sekitar 20an derajat celcius
ketika saya menggendong ransel menuju Copenhagen airport, international
departure gate. Sembari tak henti senyum-senyum sendiri karena membayangkan
besok pagi akan melihat sunrise di pulau impian, Santorini! Ya setelah beberapa
tahun menggantungkan impian di dalam kalbu untuk menginjakkan kaki di sebuah
pulau cantik di Yunani, akhirnya saya berhasil mewujudkan mimpi utama saya
ketika memutuskan untuk merantau ke Eropa. Meskipun banyak yang berpendapat
Santorini itu terlalu mainstream, saya tidak peduli. Kita punya mimpi kita
masing-masing. Saya punya mimpi menginjakkan kaki di Santorini Yunani, sama
halnya dengan orang-orang yang punya mimpi menginjakkan kaki di Paris Perancis.
Yunani memang tidak hanya Santorini, sama halnya Perancis tidak hanya tentang
Paris atau Belanda tak hanya tentang Amsterdam dan Volendam. Kita semua pasti
punya mimpi yang berbeda. :) So, live it!
 |
Blue and white Santorini |
Santorini in a
budget? It’s possible, asal nggak rewel dan manja!
Perjalanan saya menuju Santorini kali itu menggunakan direct flight dari
Norwegian Air. Hanya butuh waktu 3,5jam untuk tiba di Thira Airport, Santorini.
Berhubung saya ambil flight jam 9 malam, saya tiba di Santorini sekitar tengah
malam, dimana public bus untuk ke downtown sudah tidak tersedia. Dan saya tahu
itu. Makanya saya sudah mempersiapkan diri untuk menginap di emperan Thira
Airport malam itu. Sayangnya, Thira Airport tidak begitu proper untuk dipakai
bermalam. Maklum airportnya sangat kecil dan space yang tersedia pun tidak
banyak untuk tiduran. Saya memanfaatkan bangku ruang tunggu untuk menginap
malam itu. Untungnya saya bukan tipe orang yang rewel atau repot ketika
berurusan dengan tidur. Berbekal tas ransel sebagai bantal, celana panjang dan
jaket, serta eye mask untuk tutup mata, saya pun berhasil tidur-tidur ayam di
ruang tunggu airport. Hanya satu hal yang bikin saya tidak nyenyak tidur malam
itu, angin laut! Letak airport yang persis di tepi laut dan ruang tunggu yang pintunya terbuka lebar tanpa sensor otomatis, sukses membuat angin laut bebas
menyambar-nyambar saya dengan kekuatan yang saya pikir badai. Hahaha... Untung
Tolak Angin selalu tersedia di tas. Malam itu pun aman terlalui tanpa masuk
angin. :)
 |
Ruang tunggu Thira Airport |
Pagi hari jam 5:30an saya terbangun oleh suara orang-orang yang rupanya adalah
sopir-sopir bus dan taxi yang mulai berdatangan untuk menjemput tamu-tamu dari
flight pertama pagi itu. Rupanya saya tidak tidur sendiri di ruang tunggu
airport itu. Ada pasangan traveler dari Singapore, seorang wanita dari Denmark,
dan seorang pria dari Amerika. Kami semua traveler yang tiba pada tengah malam
dan memutuskan untuk menunggu bus pertama keesokan harinya. Setelah ngobrol
sejenak dengan mereka, perhatian saya teralihkan oleh sinar kekuningan pertama
yang jatuh di air laut. Oh... Sunrise di Santorini! Puas memandangi bulatan
oranye yang perlahan menyembul dari horizon, saya pun melangkahkan kaki menuju
bus pertama yang akan bertolak ke downtown Santorini, Fira.
 |
first light in the horizon |
Bus yang saya tumpangi berhenti di terminal Stathmos
Leoforion central bus station di desa Fira. Karena saya menginap di sebuah
hostel murah di bagian tenggara Santorini, tepatnya di Perissa Beach, saya
harus ganti bus untuk menuju ke sana. Rencana awal yang saya susun beberapa
bulan sebelumnya, saya akan menginap di sebuah exclusive backpacker hostel di
pusat desa Fira, seharga €20/malam. Namun karena pertimbangan untuk
menekan biaya selama perjalanan satu bulan, saya memutuskan untuk menginap di Perissa
saja dengan tarif €5/malam. Lumayan hemat bukan? Memang sih konsekuensi
nya, saya harus naik bus selama kurang lebih 40 menit setiap kali menuju dan
dari downtown Fira. Tetapi harga bus PP pun cuma sekitar €4, tetap lebih
murah pengeluaran perharinya jika tinggal di Perissa.
Saya menginap di sebuah youth hostel di kamar berkapasitas 20 orang dengan
bunkbed. Haha, terdengar seperti sebuah camp barak tentara ya! Tapi ternyata
ruangannya lumayan luas dan tidak terlalu sumpek pada malam hari. Namun jangan
coba-coba berdiam diri di kamar saat siang hari kalau tidak mau megap-megap di
ruangan tanpa AC tersebut. Suhu Santorini pada saat saya disana sekitar 38-41
derajat celcius setiap harinya. Terbayang kan betapa panasnya? Hostel ini tidak
menyediakan sarapan. Jadi saya menyetok sarapan berupa croissant dan roti,
serta berbotol-botol air minum. Setiap orang mendapat jatah satu lemari yang
lumayan besar untuk menyimpan ransel dan persediaan makanan untuk beberapa hari
ke depan. Di sekitar hostel ada banyak tempat makan yang harganya jauh lebih
murah ketimbang di downtown. Saya seringkali membeli Pita Gyros atau Souvlaki,
take away untuk bekal makan siang saat blusukan di Santorini. Itulah fungsinya
membawa lunch box dan botol minum. Traveler on budget seperti saya ini tidak
bisa makan di restaurant setiap saat jika mau survive traveling selama
sebulan.
 |
Youth Hostel Anna (pict credit to hostelworld) |
 |
Mix Dorm Room €5/malam (pict credit to tripadv) |
Selesai check in di hostel, saya membeli sarapan dan membungkus makan siang.
Totebag pun sudah ready dengan lunch box, air minum, sun block, topi, sandal
jepit, kipas, tissue, dan map. Saya siap untuk mengeksplorasi pulau Santorini
selama beberapa hari ke depan!
Eh, Indonesia juga?!
Siang itu saat saya tengah menunggu bus di sebuah halte di
pinggir jalan berdebu dekat pantai Perissa, terlihat dua orang gadis berparas
Asia berjalan mendekat ke halte tempat saya duduk. Mereka tersenyum sepintas
kepada saya. Saya pun basa-basi menyapa mereka dengan menggunakan bahasa
Inggris, lalu iseng bertanya “where are you girls from?” dan mereka menjawab
“Singapore”. Oh, tetangga… Pikir saya. Saya pun dengan sok akrab bilang “Hey…
we are neighbor then! I’m from Indonesia!” sambil tersenyum manis. Eh tau-tau
salah satu dari mereka menjawab “Oh? Kita juga orang Indonesia koq. Cuma
tinggal di Singapore”. Oalaaahhhh… ternyata jauh-jauh ke Santorini bisa ketemu
orang Indonesia juga tho! Hahaha… Kedua gadis ramah ini, Satha dan Erika,
adalah pramugari sebuah maskapai ternama di Singapore. Mereka sedang
memanfaatkan libur singkat di antara jadwal terbang mereka, dengan mengunjungi
Santorini.
Akhirnya siang itu kami barengan pergi ke downtown naik bus
dan jalan sebentar di seputaran Fira, sebelum akhirnya saya pamit memisahkan diri
karena mau lanjut blusukan ke desa-desa selanjutnya. Tak lupa kami saling
bertukar kontak social media, dan hingga kini kami masih berteman.
 |
Teman2 baru, Erika dan Satha :) |
Salah satu keuntungan bersolo traveling ya gini, bisa dapat
teman-teman baru dengan mudah. Karena kalau pergi sendiri saya pasti gatel
pengen ngajak ngomong orang lain hahaha… Beda halnya kalau kita pergi bersama
teman-teman, pasti akan cenderung ngobrolnya dengan teman sendiri ketimbang
sama orang asing kan. Tapi kalau sendirian, mau nggak mau harus ngomong sama orang
asing, daripada gila ngomong sendiri. Apalagi kalau kamu tipe orang cerewet
seperti saya! :)
Hemat nggak selalu
kere kan?
Berhemat saat sedang traveling on budget itu memang perlu,
tapi tidak harus kere juga kan. Saya bisa menghemat dalam hal akomodasi, transport,
dan belanja ketika saya backpackingan. Tetapi soal makanan, saya yang termasuk
suka kulineran ini nggak mau menyia-nyiakan kesempatan mencicipi makanan khas
lokal. Meskipun bukan dengan cara duduk cantik dinner di restaurant atau café
mahal dengan view jutaan dollar, saya masih bisa menikmati kuliner di
stand-stand makanan atau restaurant yang terjangkau kantong saya. Intinya,
cobain! Jangan sampai menyesal karena pergi ke suatu tempat tapi tidak mencoba
makanannya.
Trik hemat saya selama di Santorini adalah sarapan sesuatu
yang bisa dibeli di mini market dekat hostel. Pilihannya beragam, mulai dari
roti, cold sandwich, buah-buahan, susu, dan yogurt. Belanja untuk sarapan di
mini market sangatlah murah, hanya €2-4 sudah kenyang. Masih bisa beli air
minum 1,5l pula untuk bekal blusukan siang harinya. Tak lupa saya juga beli
croissant dan apel untuk bekal snack selama perjalanan. Karena rata-rata
eksplorasi saya di Santorini berupa trekking dan jalan kaki, maka bekal air
minum yang cukup dan snack sangatlah membantu jika mendadak lapar sebelum jam
makan.
 |
Sarapan & snack favorit selama di Santorini |
Untuk lunch, saya lebih sering membeli take away Pita Gyros
atau Souvlaki (hampir setiap hari). Selain mengenyangkan, makanan itu juga
praktis karena bisa saya masukkan di lunch box untuk bekal makan siang. Tak
lupa buah, seperti apel dan pisang, selalu setia menyertai lunch box saya. Saat
lunch time, saya memilih spot-spot ciamik untuk duduk dan menikmati pemandangan
Santorini sembari makan. Bisa di bawah pohon, di pinggir tebing, atau pun di
tepi pantai. Yang penting selama tempat itu free untuk duduk-duduk, saya bebas
leyeh-leyeh selonjoran sambil makan siang. See? Lunch with the view was not
always cost you a lot! ;)
 |
Obelix's Pita Gyros for lunch |
Nah, untuk dinner, bolehlah agak fancy sedikit (meski nggak
bisa setiap hari juga). Saya biasanya makan malam ‘agak bener’ sedikit alias
makan memakai piring dan cutleries. Ada resto-resto dan café yang tidak terlalu
meroket harganya baik di Fira, Oia, maupun Perissa. Asal pintar-pintar melirik
daftar menunya sembari lewat. Di Oia contohnya, saya makan malam dengan
pemandangan ciamik lampu-lampu caldera bak kunang-kunang, di sebuah tavern
kecil dengan harga yang cukup bersahabat. Saya makan Greek salad dan Moussaka
serta segelas Sangria, tak lebih dari €12. Porsinya pun cukup mengenyangkan
dan Moussaka nya enak! Di Perissa, saya makan salad, ayam panggang, kentang, serta
sebotol bir hanya seharga €9 saja. Plus disuguhi nonton pertandingan sepak
bola Piala Dunia gratis dari layar besar yang terbentang di dalam restaurant.
Jadilah malam itu saya dinner sambil nonton bola bersama room mates.
 |
Pork Souvlaki |
 |
whole plate for only €7 |
Naik bus vs share
cost taxi
Cara paling gampang dan murah keliling santorini adalah naik
public bus. Namun kendalanya, timetable bus terkadang sering meleset alias
tidak on time. Patokannya, bus lewat di halte tiap 30-45 menit sekali. Selain
itu, bus dari dan ke downtown biasanya selalu penuh penumpang terutama saat
high season, jadi siap-siap untuk berdiri sepanjang perjalanan ya! Namun naik
bus di Santorini juga cukup mengasyikkan. Bisa dapat teman baru yang ketemu di
halte saat sama-sama menunggu bus atau sama-sama gelantungan di dalam bus.
Hehe…
 |
Percaya nggak si ganteng itu adalah kernet bus? :)) |
Kalau sedang malas menunggu bus dan sedang diburu waktu
mengejar jadwal keberangkatan pesawat atau ferry, kita bisa cari barengan ke sesama
traveler untuk naik taxi dan share cost. Seperti siang itu saat saya tengah
menunggu bus tujuan pelabuhan Santorini. Bersama saya ada 3 cowok asal Kanada
yang juga sedang menunggu bus. Namun bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba
juga, sedangkan waktu kian menipis untuk berhasil menuju pelabuhan berjarak hampir
11km itu sebelum jadwal ferry kami berangkat ke Athens. Diskusi sebentar,
akhirnya kami memutuskan memanggil taxi dan patungan bayar ongkos ke Pelabuhan.
Untuk sebuah taxi jenis van, per orang membayar €5,5. Not bad at all,
mengingat perjalanan ke pelabuhan dapat ditempuh dengan waktu sangat singkat
karena si pak sopir ngebut nyetirnya! Haha… Jadilah kami tidak ketinggalan
ferry. Cara yang cukup efektif daripada menunggu bus bertarif €2,40 yang
tidak bisa dipastikan jam kedatangannya itu.
Lewat udara atau
laut?
Nah, biasanya orang sering bertanya nih enaknya lewat jalur
udara atau laut ya menuju dan dari Santorini. Jawabannya, depends. Tergantung
kebutuhan, budget, dan ketersediaan waktu. Kalau mau meminimalis waktu tempuh,
pesawat jawabannya. Kalau mau budget dan tidak sedang terburu-buru, ya naik
ferry. Saya menggunakan kedua jenis transport tersebut. Terbang dari Copenhagen
langsung ke Santorini adalah pilihan tepat karena sangat meminimalis waktu
ketimbang harus mampir Athens dan melanjutkan dengan ferry. Sebaliknya, ketika
meninggalkan Santorini menuju Athens, saya menggunakan ferry. Selain karena
sedang tidak terburu-buru, saya juga ingin merasakan pengalaman menyeberangi
laut Aegean dan melewati kepulauan Cyclades. Selain itu, saya dengar ferry di
Yunani itu sangat nyaman dan bagus. Saya pun tak ingin menyiakan kesempatan
mencoba naik ferry di Yunani, sekaligus ingin tahu apa bedanya dengan
ferry-ferry di Scandinavia. Untuk kelas ekonomi, saya membayar tiket sekitar €38. Dengan fasilitas ruang penumpang luas ber-AC dan kursi sofa juga tersedia.
 |
Economy class |
 |
Rombongan band anak SD |
 |
view desa Oia dilihat dari ferry |
Perjalanan mengarungi laut Aegean menuju Athens memakan
waktu 8 jam, dengan dua kali stopover di pulau lain. Kapal ferry besar itu
lengkap dengan area pertokoan, café, dan stand makanan siap saji. Jadi jangan
takut kelaparan di tengah perjalanan. 8 jam perjalanan itu tidaklah terasa
panjang karena di dalam kapal, saya bertemu serombongan grup penari dari salah
satu universitas di Athens. Kami berbagi meja dan saling bertukar cerita. Juga
serombongan murid-murid SD yang rupanya adalah grup orchestra junior. Kedua
rombongan ini rupanya baru saja menghadiri sebuah pentas seni tahunan di
Santorini. Sepanjang perjalanan saya dihibur oleh suara-suara merdu instrument music
yang dimainkan anak-anak berbakat tersebut. Saya memanfaatkan 8 jam perjalanan
itu untuk menulis laporan jurnalistik saya, dan tak lupa mewawancara beberapa
dari para penumpang itu sebagai narasumber. Sembari menikmati jejeran
pulau-pulau bertabur bangunan cat putih di laut Aegean, saya menuliskan
perjalanan ini ke dalam jurnal yang pada akhirnya mampu saya selesaikan hari
ini. :)
 |
Writing onboard |