Sunday, July 14, 2013

Giethoorn, de Venice van Holland

Nama kota Giethoorn sudah lama saya dengar, disebut-sebut sebagai Venice-nya Belanda karena keunikan tata kotanya yang cantik berkanal-kanal. Namun saya baru berkesempatan mengunjungi nya pada musim panas tahun ini. Melalui ajakan seorang teman yang merupakan salah satu member Amsterdam Street Photographer Community, saya pun ikut serta dalam program day trip ke Giethoorn. Awalnya sempat ragu, karena saya yang notabene hanya pejalan modal pas-pasan (tampang pun pas-pasan pula) ini kan tidak punya kamera canggih seperti kawan-kawan anggota komunitas tersebut. Jangankan kamera DSLR yang berlensa sekian centimeter panjangnya, kamera pocket pun saya tak punya lantaran satu-satunya kamera Canon Powershoot saya telah RIP diterjang kedahsyatan angin Belanda (T_T). Belakangan ini saya hanya traveling bermodalkan kamera handphone. Dan lumayan minder juga sih membayangkan nantinya akan pergi bersama sekumpulan orang-orang penggemar fotografi yang tampak keren sekali dengan kamera-kamera hitam tergantung di leher itu. Tapi hasrat traveling saya sepertinya mampu menelan rasa minder maupun inferior, maka dengan pede saya pun menyatakan ikut bergabung dalam acara itu. Dan kemungkinan akan menjadi satu-satunya peserta tanpa berkalung kamera melainkan menggendong backpack gendut isi laptop & ayam goreng bekal makan siang!


Giethoorn City
 
Hari Sabtu pagi itu, saya bersemangat berangkat melalui jalur timur menuju Zwolle, kemudian menyambung bus menuju Giethoorn. Letak  Giethoorn sendiri ada di dekat Steenwijk, sebelah utara kota Zwolle, provinsi Overijssel – Netherlands. Namun karena keteledoran kecil yaitu salah naik shuttle bus antar station, jadilah saya ketinggalan bus no.70 ke Giethoorn. Dan sialnya, bus itu hanya ada tiap 1 jam sekali saja. Maka saya pun terlambat sampai di meeting point dimana anggota rombongan telah berkumpul satu jam yang lalu. Para peserta day trip rupanya telah berangkat duluan menyusuri kanal. Tapi tak mengapa, toh solo traveling bukan merupakan hal baru bagi saya. Saya pun membeli sebuah tiket kanal tour seharga €6 untuk menyusuri desa kecil Venice van Holland dengan menggunakan motor boat umum bersama belasan wisatawan lain plus ditemani seorang guide.




Menyusuri kanal-kanal cantik dengan rumah-rumah tua khas Belanda di kanan kiri nya membuat saya terlena. Memang paling pas mengunjungi tempat ini saat summer, dimana rerumputan dan pepohonan telah rimbun menghijau, serta bunga-bunga cantik menjuntai anggun dari teras rumah dan jembatan. Suasana hari itu ramai oleh sampan dan boat yang hilir mudik di setiap jalur kanal. Mulai dari canoe, sampan tradisional, hingga motor boat seliweran di sepanjang kanal Giethoorn. Sang guide sekaligus supir boat dengan gamblang menceritakan sejarah dan detail setiap sudut tempat yang kami lewati. Ternyata warga Giethoorn tidak bisa dengan seenaknya membangun rumah dengan model macam-macam disini. Berdasarkan ketetapan dinas tata kota, rumah-rumah yang dibangun di Giethoorn haruslah berciri tradisional, dan dibangun dengan dua material yaitu batu bata untuk rumah bagian depannya (brick house) dan kayu di bagian belakangnya (wooden house). Dan warna rumah pun tidak jauh dari nuansa hijau tua, coklat gelap, atau putih. Katanya, itu sudah menjadi standard ketetapan membangun rumah di daerah ini guna mempertahankan citra Giethoorn itu sendiri.




Ada lagi yang unik dari rumah-rumah di Giethoorn ini. Di beberapa rumah, khususnya yang sudah berusia sangat tua, masih ditemukan sebuah pintu depan berwarna hijau tua yang dibuat lebih tinggi sekitar 30cm dari permukaan tanah. Saya pikir tadinya, apakah penghuni rumahnya harus selalu lompat setiap kali mau keluar rumah? Apa tidak kesusahan juga nanti saat mau masuk ke rumah? Namun perkiraan saya tersebut salah, hehe… Sang guide menjelaskan bahwa pintu utama yang merupakan pintu ruang tamu tersebut hanya digunakan dalam 2 moment penting saja. Yaitu saat salah seorang anak gadis penghuni rumah telah menikah, dan secara harfiah diartikan akan pergi selamanya mengikuti suaminya, maka dia harus keluar rumah melalui pintu itu setelah upacara pernikahan. Moment yang kedua adalah jika salah seorang anggota keluarga penghuni rumah itu ada yang meninggal, yang artinya akan meninggalkan rumah itu selamanya, maka peti matinya akan dibawa keluar melalui pintu itu juga. Jadi fungsi pintu itu sendiri adalah simbolisasi gerbang menuju kehidupan baru, dan pintu perpisahan bagi para penghuni rumah.





Apa lagi yang unik dari Giethoorn? Tentu saja kanal-kanal nya. Perlu diketahui, seluruh warga Giethoorn tidak bisa memarkir mobil mereka di garasi rumah. Yaiyalah, kan di seluruh penjuru hanya ada kanal, jalan setapak, dan fietspad (jalur sepeda). Jadi bagi mereka yang memiliki kendaraan bermotor, dapat memarkir kendaraan mereka di lapangan parkir khusus yang disediakan di luar desa. Kemudian mereka bisa melanjutkan perjalanan ke rumah dengan jalan kaki atau naik sepeda. Sedikit ribet ya? Tapi ya itulah Giethoorn, a city without any roads. Bahkan segala aktifitas per-transportasi-an di Giethoorn semuanya dilakukan dengan perahu. Seperti arak-arakan pengantin, perarakan jenazah menuju pemakaman, karnaval, sampai truk sampah pun berupa perahu boat, juga pemadam kebakaran pun berupa boat. Mungkin juga karena keunikan inilah kota Giethoorn menjadi special dan diminati para wisatawan. Harga rumah di kawasan ini pun tidak murah. Menurut guide, rumah paviliun kecil saja (rumah tipe 21) dibanderol dengan €280.000 alias 3 Milyar 640 Juta Rupiah. Uhuk!! Tersedak saya mendengarnya.

The Church

Rumah unik bak di negeri dongeng :)

Selesai menyusuri desa kecil berkanal, saya melanjutkan eksplorasi dengan jalan kaki. Menikmati setiap sudut hijau dan asri sepanjang kanal, hingga menemukan beberapa spot unik dan klasik. Namun saya tak bisa berlama-lama disana, karena harus mengejar bus terakhir yang akan lewat jam 6 sore. Bisa bahaya kalau saya ketinggalan bus, masa iya harus pecah celengan untuk bayar taksi? Akhirnya setelah berpuas diri memanjakan mata dengan pemandangan kanal klasik dan rumah-rumah unik bak negeri dongeng, saya pun melangkah menuju halte bus Dominee T O Hylkemaweg. Dan sepanjang perjalanan pulang, saya pun menuliskan cerita ini di dalam kereta NS-Intercity yang membawa saya ke Rotterdam.




Tuesday, July 9, 2013

Across Border in the Blink of an Eye

Hampir satu tahun tinggal di sebuah negara yang berbatasan darat dengan dua negara tetangga, membuat saya penasaran ingin melihat seperti apa sih daerah perbatasan itu. Berdasarkan hasil searching mbah Google, saya menemukan ada satu tempat menarik yang rasanya patut dikunjungi. Namanya Drielandenpunt, dikenal juga sebagai Tripoint, yang merupakan titik perbatasan tiga negara yaitu Belanda - Belgia - Jerman. Drielandenpunt (drie: tiga, landen: negara, punt: titik) ini terletak di bukit Vaalserberg, kota Vaals, provinsi South Limburg - Belanda. Untuk mencapai Vaals bisa melalui jalur kereta ke kota Maastricht kemudian dilanjutkan dengan bus. Namun kali ini saya mencoba dari arah lain. Tidak melalui Maastricht, melainkan start dari kota Aachen - Jerman, dengan maksud untuk mengeksplore Aachen terlebih dahulu sebelum menuju ke Drielandenpunt.

Eurogio Ticket
Perjalanan dimulai jam 7 pagi dari Rotterdam, menggunakan kereta NS Intercity menuju kota Heerlen di perbatasan Jerman. Dari Heerlen lanjut ke Aachen, masih dengan kereta, namun kali ini menggunakan kereta Jerman - Eurogio Bahn. Berhubung saya punya abudemen kereta NS Weekend Free, maka saya hanya perlu membayar tiket kereta di region Jerman saja. Kali ini saya membeli tiket Eurogio seharga 17 yang bisa dipakai di semua jalur transportasi di wilayah Aachen - Limburg - Liege - Maastricht selama seharian penuh, dan berlaku untuk 2 orang dewasa dan 3 anak-anak pada saat weekend. Lumayan irit bukan? Jadilah saya patungan berdua dengan teman untuk tiket ini.


Kereta Eurogio Bahn yang saya naiki terlihat rapi dan bersih, mirip-mirip dengan kereta NS Sprinter di Belanda. Kereta bergerak meninggalkan Heerlen (Belanda) menuju Aachen (Jerman) dan memakan waktu sekitar 33 menit untuk sampai di stasiun utama kota Aachen. Sampai Aachen, hari sudah siang. Saya dan teman-teman yang juga merupakan member dari sebuah komunitas backpacker terbesar di Indonesia (komunitas 'Backpacker Dunia') hari itu sengaja berkumpul dulu di Aachen dalam rangka gathering. Mengingat sebenarnya banyak member Backpacker Dunia (BD) yang berdomisili di Eropa, maka terbersitlah ide untuk mengadakan acara kumpul bareng sesama member BD di kawasan Eropa Barat. Dan hari itu, pertama kalinya acara BD Gathering dilakukan di Eropa. Senang sekali rasanya bisa bertemu teman-teman yang selama ini hanya akrab di dunia maya, kini bisa tatap muka secara langsung. Para peserta gathering yang hari itu hadir berasal dari Belanda, Jerman, dan Luxembourg. Lunch bareng dan diselingi dengan sharing-sharing pengalaman serta guyonan, membuat waktu tak terasa berlalu dengan cepat. Untungnya matahari musim panas tenggelam jam 11 malam, jadi kami masih punya sisa waktu untuk menuntaskan tujuan ke Drielandenpunt setelah terlebih dahulu mengeksplore sebagian kecil pusat kota Aachen. 

salah satu sudut cantik kota Aachen

sudut cantik kota Aachen

Aachen Cathedral
Vaals City - South Limburg
Berbekal tiket Eurogio, kami naik bus Veolia no.50 jurusan Maastricht yang melewati Vaals. Semula saya kira di Vaals akan turun di sebuah bus station atau at least tempat ngetem bus lain yang notabene harus kami dapatkan untuk bisa naik ke puncak bukit Vaalserberg. Tapi ternyata sampai di Vaals kami diturunkan di sebuah halte bus di pertigaan jalan yang sepi. Di tengah-tengah pertigaan jalan itu ada sebuah bundaran dengan lambang 3 buah segitiga bersusun, yang saya tafsirkan artinya Three Point atau Drielandenpunt. Papan penunjuk jalan menunjukkan bahwa kami sudah turun di lokasi yang benar, hanya saja saya tidak melihat tanda-tanda bus no.149 yang ngetem untuk naik ke bukit. Wah... jangan-jangan bus nya sudah selesai jam operasionalnya. Tanya-tanya ke warga lokal, mereka bilang tidak jauh didepan ada halte bus yang kearah bukit, barangkali kami bisa dapat bus disana. Akhirnya gambling lah kami jalan kaki ke halte bus yang dimaksud, sambil iseng-iseng mencoba hitchhike hehe... Tapi untungnya, ada salah satu dari rombongan yang membawa mobil, berbaik hati untuk mengangkut kami sampai tujuan. Huuuffttt... selamat deh dari jalan kaki sejauh 5km, menanjak pula!

Jalanan berkanopi pepohonan

Naik keatas bukit Vaalserberg, melewati jalanan aspal dengan naungan pepohonan hijau rindang di kanan-kiri nya. Mirip-mirip seperti jalanan di Cikole ke arah Tangkuban Perahu, cuma bedanya disini bukan hamparan kebun teh yang terlihat, melainkan padang rumput dengan sapi atau kuda bertebaran. Sampai di atas bukit, kami masih harus berjalan kaki beberapa ratus meter melewati rimbunan pepohonan musim panas yang menghijau sejuk. Dan akhirnya sampai di spot yang paling dinanti, Drielandenpunt. 

Drielandenpunt area dengan bendera Jerman - Belanda - Belgia

Drielandenpunt
Titik Perbatasan Tiga Negara atau dikenal dengan Tripoint dan Drielandenpunt dalam bahasa Belanda, merupakan sebuah tugu batu setinggi kurang lebih setengah meter yang berdiri ditengah-tengah lingkaran. Lingkaran tersebut dibagi menjadi 3 ruas, yang berukuran paling sempit mewakili wilayah Belanda, kemudian di posisi kedua adalah wilayah Belgia, dan setengah diameter lingkaran tersebut mewakili wilayah Jerman. Hmmm... sedikit tidak rela melihat Jerman menguasai 50% nya, haha...
Jadi, dalam sekejap mata saya bisa berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain hanya dengan melangkahkan kaki diatas lingkaran tersebut dan menyeberangi bordernya. hehe...

The Highest Point of Netherlands

only 322m above sea level
Di dekat tugu Drielandenpunt ini terdapat pula tiga buah tugu 'The Highest Point of Netherlands' yang merupakan titik tertinggi wilayah negara Belanda dengan ketinggian 'hanya' 322 mdpl. Jadi? Kebayang kan kalau Belanda merupakan sebuah negara artificial yang berada dibawah permukaan laut. Kalau bukan karna kehebatan teknologi dan struktur bendungan/dam nya, mungkin Belanda hanya merupakan hamparan daratan yang tertutup air laut, tempat warga Jerman atau Belgia bisa numpang mancing ikan Haring! Hehehe....

Memandang dataran Belgia dari perbatasan Belanda

Di dekat tugu perbatasan itu, berdiri sebuah menara pandang setinggi beberapa puluh meter yang bisa dimanfaatkan untuk memandang ketiga negara dari ketinggian. Tiket masuk menara seharga €3.50 untuk dewasa dan €2.50 untuk anak-anak dibawah 12 tahun. Sempat saya dibujuk teman untuk mengaku-ngaku sebagai anak 12 tahun, mentang-mentang body saya kecil dan muka innocent (halah!!). Namun naluri kejujuran akhirnya mengalahkan saya saat berhadapan dengan petugas loket, sambil senyum-senyum ragu saya berucap "mmmm... one adult ticket please." Hehe... Nggak jadi bohong, lega rasanya! Hanya saya dan seorang teman yang naik ke atas menara, anggota rombongan lainnya memilih ngaso di sekitar tugu perbatasan.

Kawasan Belgia dilihat dari puncak tower
Kawasan Belanda dilihat dari puncak tower
Kawasan Jerman dengan hutan dan kota Aachen, dilihat dari puncak tower

Naik ke atas menara melalui lift, sampailah saya dan Ananda (salah satu member BD) di atas ketinggian yang lumayan bikin bergetar saat menapakkan kaki di lantai besi bolong-bolong itu. Saat memandang kebawah, oh my God.... kami berdiri di selembar besi baja motif kotak bolong-bolong, yang bisa dengan jelas melihat dataran tanah jauh dibawah sana! Hadoh... saya lupa kalau saya takut ketinggian (-__-") Alhasil dengan hati kebat-kebit saya tarik si Ananda yang sudah jejeritan ketakutan dari tadi. Kami naik ke lantai paling puncak menara yang.... Thank God! terbuat dari semen utuh tanpa pemandangan tanah puluhan meter dibawah kaki. Yeaaayyy... mulai deh asyik foto-foto pemandangan yang sangat cantik dilihat dari ketinggian ini. Hamparan hijau padang rumput dan hutan serta rumah-rumah putih di pedesaan terlihat sangat asri. Juga beberapa kincir angin di kejauhan, serta rel kereta yang meliuk diantara pepohonan. Berkesempatan memandang 3 negara sekaligus dari atas sini, merupakan sebuah pengalaman berkesan dalam hidup saya. :)

Puas menikmati (dan foto-foto juga) di area Drielandenpunt, kami turun bukit untuk kembali melanjutkan eksplorasi ke Limburg. Waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan sebagian anggota rombongan memilih untuk kembali ke Jerman. Sedangkan rombongan asal Belanda akan melanjutkan perjalanan menggunakan bus menuju Maastricht dengan mengambil rute panjang melewati desa-desa Kleine Swiss. Naik bus no.50 menuju Gulpen, kemudian berganti bus no.57 tujuan Maastricht, kami melewati bukit-bukit hijau dengan hamparan padang rumput dan hutan. Sangat cantik, dengan senja yang menguning di horizon, serta melewati jejeran rumah-rumah mungil nan klasik bergaya Swiss di sepanjang jalan. Saking terlena menikmati pemandangan ala buku dongeng itu, saya sampai lupa untuk memfotonya! Tapi tak apalah... Keindahan alam South Limburg memang paling pas untuk dinikmati dengan mata kepala sendiri. Jadi kalau ada yang penasaran tentang keindahan desa-desa Kleine Swiss di perbukitan Limburg, saya menyarankan untuk mengunjunginya langsung dan merasakan sendiri mulut menganga dan berdecak kagum menyaksikan salah satu landscape indah ciptaan Tuhan yang selama ini hanya terbayang di buku-buku dongeng pengantar tidur. :)

Sekian dan salam Traveler!!

Para peserta "Backpacker Dunia Gathering West Europe I"

Recent Post

Pagi yang Din-Din!!!

 Bruuummm Bruummmm! Din Din Din!!! Kreeeekkkk... Mata yang baru terpejam sebentar ini merengek karena terbangun jam 5 pagi buta. Buset, rame...

Popular Post