Friday, December 14, 2012

My Eurotrip: Trimester Pertama

Apa yang ada dipikiranmu saat mendengar kata Eurotrip? Pasti pikiran langsung melesat ke segala penjuru Eropa dengan kelebatan bayangan tempat-tempat menarik yang ingin dikunjungi. Ya, itulah juga yang ada didalam otakku saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Eropa, tepatnya di pelataran parkir Schipol International Airport - Amsterdam.

Buku Sakti :)
Disela-sela ucapan syukur saat pertama kalinya menjejak Eropa, aku menyelipkan sebuah proposal "Eurotrip - My Travel Wish List", ke hadirat Tuhan YME. Proposal? Kenapa disebut proposal? Ya karena bentuknya masih berupa rancangan mentah, tanpa adanya dana finansial untuk menyelenggarakannya. Hanya sebuah proposal pengajuan izin dan restu kepada Yang Maha Berkehendak. Permohonan agar rencanaku ini nantinya diberi izin dan syukur-syukur diberi bantuan dana juga, sehingga bisa terlaksana apa yang tercantum didalam proposalku itu. Sama halnya seperti saat kita dulu menjadi anggota OSIS di sekolah, seringkali membuat proposal untuk Pentas Seni atau apalah, dan mengajukannya kepada Kepala Sekolah. Untuk apa? Untuk minta izin penyelenggaraan acara dan tentunya minta bantuan dana tho? Sama halnya dengan proposal Eurotrip-ku. Bedanya cuma kali ini aku tidak mengetik, mengeprint, dan menjilidnya. Aku hanya mengucapkannya didalam doa.

Apa isi proposal ku? Isinya untaian mimpi dan harapan untuk bisa menginjakkan kaki di berbagai negara di Eropa. Kapan waktu pelaksanaannya? Dimulai dari detik pertama aku turun dari pesawat, hingga satu tahun kedepan, atau syukur-syukur kalau Yang Maha Berkehendak mengizinkan aku untuk extend lebih lama lagi disini. Berapa dana yang dibutuhkan? Berapapun dana yang diberikan oleh Beliau Yang ada di Atas, mudah-mudahan dicukupkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi ku tersebut. Apa target yang aku tetapkan di dalam proposal ku? Targetnya adalah... Minimal satu negara setiap bulan! Kata-kata penutup? Amin Amin dan Amin.

Setelah mengajukan proposal, lalu harus bagaimana? Oke, pertanyaan yang bagus! Masih ingat jaman sekolah bikin proposal Pentas Seni donk ya... Biasanya setelah proposal ditanda-tangani oleh KepSek, kita langsung bikin rancangan hal-hal apa saja yang harus dilakukan terlebih dahulu. Nah, sama. Setelah aku mengajukan proposalku, aku langsung mengambil langkah, bukan langkah seribu pastinya ya. Pertama-tama aku memilih, negara mana sih yang menjadi prioritas utamaku? Kembali aku mengaduk-aduk isi otakku, dan menemukan bahwa Eiffel telah tertanam didalam otakku sejak aku masih kecil. Baiklah, aku putuskan untuk mulai mengumpulkan segala informasi untuk pergi ke Perancis.

Aku mulai memikirkan waktu yang tepat, hunting tiket, membuat rancangan dana, dan itinerary perjalanan. Tentunya disela-sela aktivitasku disini di Belanda. Dan tentu saja aku tak menyia-nyiakan waktuku untuk tidak mengexplore Belanda itu sendiri. Jadi hitunglah Belanda sebagai negara pertama penjelajahanku di Eropa. Dimulai dari Minggu pertama aku disini, aku mulai merambah keluar dari Rotterdam, kota tempatku tinggal. Aku menjelajah Delft, sebuah kota kecil yang sarat dengan pelajar dan suasana kota yang tenang. Kanal-kanal cantik membelah-belah kota, menjadikannya makin eksotis dengan jembatan melengkung dan deretan sepeda yang tertambat di sisi jembatan. Belum lagi jejeran cafe yang bertengger manis di bantaran kanal dengan dipayungi pepohonan yang mulai menguning daunnya. Cantik! Sungguh ironis mengingat di Jakarta tidak dapat kita temukan hal semacam ini di bantaran sungai Ciliwung.
Delft & Kanal cantiknya :)
Dilanjutkan dengan minggu keduaku disini, aku mengeksplore Den Haag. Kota pusat pemerintahan Kerajaan Belanda ini merupakan salah satu kota dimana aku banyak berjumpa dengan sesama orang Indonesia.  Saat mengantre beli makanan, tengok kanan ada orang Indonesia. Saat makan di rumah makan, tengok ke kiri ada orang Indonesia. Bahkan saat menunggu tram di pinggir jalan, diajak ngobrol sama mas-mas banci yang juga dari Indonesia. Oalaaah… ini kota isinya tetangga setanah air semua! Haha… Di Den Haag banyak terdapat Toko-toko Asia yang menjual bahan-bahan makanan khas Indonesia. Rumah makan Indonesia pun banyak terlihat di sisi jalan. Aku menghabiskan sekitar 2 hari untuk menjelajahi Den Haag. Mulai dari pantai Scheveningen, yang oleh warga Belanda dibangga-banggakan sebagai pantai cantik nya mereka. Namun saat aku berada disana, aku cuma bisa melongo menyaksikan air laut yang kelabu dan pasir pantai yang coklat. Plus awan mendung dan angin dingin musim gugur yang dijamin bisa bikin masuk angin. Mana cantiknya??? Aku senyum-senyum sendiri, berbangga hati menjadi warga Negara Indonesia, sebuah Negara kepulauan yang dianugerahi kekayaan bahari dan ribuan pulau berpantai cantik!

pantai Scheveningen yang dingin (-__-")


at Madurodam
Kemudian dilanjutkan dengan mengunjungi Madurodam, taman miniatur Negara Belanda. Tempat ini merupakan salah satu tempat wajib dikunjungi saat berada di Belanda. Tiket masuk seharga €14 itu menurutku ya lumayan lah untuk menikmati Belanda secara keseluruhan dalam versi mini nya. Di taman yang tak seberapa luas itu, kita bisa melihat berbagai tempat di seluruh penjuru Belanda. Mulai dari Port of Rotterdam, Erasmus Brug, Schipol Airport, Arena Stadium, Kinderdijk, bangunan-bangunan penting dan khas di Belanda, hingga pasar keju Gouda. Keseluruhan bangunan dibuat mini, bahkan sampai pohon-pohonnya pun mini. Lumayan untuk menambah pengetahuan akan tempat-tempat penting di Belanda. Dan tentunya buatku, penting untuk tahu tempat mana saja yang kira-kira bagus untuk dikunjungi nantinya. Hehe….
Selain Madurodam, aku juga mengunjungi Vredes Paleis atau The Peace Palace yang merupakan kantor Mahkamah Internasional PBB sekaligus Akademi Hukum Internasional Den Haag. Namun sayang, hanya bisa menikmati keindahan bangunannya dari luar pagar saja. Kemudian tak lupa juga mengunjungi The Binnenhof (kantor pemerintahan Belanda) dan museum Mauritshuis yang terkenal itu. Menghabiskan sore menjelang malam di kawasan Centrum dengan menyusuri Lange Poten yang di kanan-kiri nya banyak berjejer toko-toko dan butik yang memanjakan mata dan menggelitik kantong!

Vredes Paleis / Peace Palace
Di minggu ketiga, rupanya Beliau Sang Maha Baik memberikan bonus kejutan. Aku berkesempatan mengunjungi Belgia, tepatnya ke sebuah kota kecil bernama Brasschaat di dekat Antwerpen. Memang sih tidak bisa dikategorikan sebagai “acara jalan-jalanku” karena kunjunganku kesana dalam rangka acara keluarga, mengunjungi Opa & Oma dari keluarga angkatku disini. Tapi tetep donk ya bahagianya luar biasa saat menempuh perjalanan sekitar 1 jam dan melewati perbatasan Netherlands-Belgium itu. Akhirnya aku menginjakkan kaki di negara ke-2, Belgia. Hari itu cuaca cerah, matahari menyiramkan sinarnya tak tanggung-tanggung  meskipun suhu udara tetap saja dingin. Aku menghabiskan hari di Brasschaat dengan berenang, keliling desa dan hutan di sekitar rumah Opa, dan menikmati sore hari dengan secangkir teh buatan Oma di taman cantik belakang rumah. Yang aku lihat di kota kecil itu, bentuk bangunan rumahnya berbeda dengan rumah tipe Belanda yang beratap runcing dan bercerobong asap. Rumah-rumah di Belgia relatif terlihat lebih ‘gemuk’ dan luas. Kabarnya, harga tanah dan bangunan di Belgia memang lebih mahal dibanding dengan Belanda. Entahlah aku juga tidak begitu perduli dengan harga tanah. Yang aku tahu, hari itu aku sangat menikmati suasana kota Brasschaat yang tenang dan damai, dengan hutan-hutan kecilnya yang masih hijau dan segar.

Sore di Brasschaat :)

Eiffel... Finally! :)

Dan tibalah aku di minggu keempat alias satu bulan aku berada disini. Seluruh persiapanku ke Paris-Perancis sudah matang. Tiket sudah dibeli, ransel sudah diisi, agenda perjalanan sudah terperinci, dan uang saku pun sudah dibekali. Yes!! Tepat 1 bulan 3 hari aku hidup di Belanda, aku akhirnya melangkahkan kaki untuk menginjak negara ke-3 dalam daftar Travel Wish List ku. Terima kasih Tuhan, Engkau sungguh baik. Di bulan Oktober aku berhasil mewujudkan mimpi masa kecilku ke Paris, melihat Eiffel!
Menghabiskan hampir 4 hari di Paris dan Versailles (baca postingan sebelumnya), aku kembali mengucap syukur dan terima kasih kepada Beliau yang telah menanda-tangani proposal Eurotrip ku. Karena tanpa izin dan kuasa Nya, mustahil aku bisa menginjakkan kaki di 3 negara dalam waktu kurang lebih 1 bulan, dengan budget dibawah rata-rata. Banyak yang mengira aku ini kebanyakan uang (amin!) hingga bisa dengan mudahnya menclok sana-sini dalam waktu singkat. Padahal kalau saja mereka (dan kamu) tahu berapa tepatnya dana yang disumbangkan oleh Dia Yang Maha Baik kepadaku tiap bulannya untuk melaksanakan proposal Eurotrip ku ini, mungkin mereka (dan juga kamu) pasti bakalan melongo dan bilang “Hah? Memangnya cukup duit segitu buat survive sebulan plus jalan-jalan?”. Dan mungkin aku akan menjawab dengan tersenyum, “Tuhan itu baik dan selalu mencukupkan…”
Sepulang dari Perancis, jujur aku sempat bengong tak tahu harus kemana lagi karena belum punya ancang-ancang untuk the next plan. Akhirnya aku menghabiskan weekend-weekend ku untuk kembali menjelajah si Negeri Kincir ini. Melanjutkan penjelajahan ke berbagai kota tetangga, mulai dari Kinderdijk, Leiden, Breda, Utrecht, Den Bosch, Dordrecht, Maastricht, dan tak lupa Amsterdam.

Dom Kerk - Utrecht, salah satu gereja gothic yang masih tersisa di Belanda
Kinderdijk, sebuah desa kincir angin yang terkenal dan dijadikan UNESCO World Heritage. Memiliki 19 buah kincir angin khas Belanda yang disebut Molen, yang berjajar rapi di tepian kanal berumput ilalang. Cantik! Dan cuaca sedang bersahabat saat aku kesana, sehingga menghasilkan beberapa hasil karya jepretan yang breath taking. Aku membawa serta sepedaku menaiki boat dari Rotterdam menuju Kinderdijk, dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Menyusuri cantiknya Kinderdijk dengan bersepeda itu sangatlah mengasyikkan. Konon katanya, saat musim dingin tiba dan kanal-kanal membeku, akan sangat menyenangkan bisa ber-ice-skating ria di desa kincir angin ini. Well, mungkin aku akan mencobanya saat winter tiba nanti.

Kinderdijk
Amsterdam, Ibu kota negara Belanda, dan juga merupakan touristy centre bagi siapa saja yang berwisata ke negeri kincir ini. Kesan pertama? Hmmm…. Aku kurang suka Amsterdam! Lho, kenapa? Bukannya Amsterdam merupakan tujuan wisata di Belanda seperti tertera di brosur-brosur wisata travel agent kebanyakan? Ya memang, dan justru itulah yang membuat Amsterdam menjadi kurang nyaman untuk dinikmati. Karena dipastikan hampir semua orang dari seluruh penjuru dunia akan mengunjungi Amsterdam saat pertama kali menjejak di Belanda. Hayo, bener nggak? Survey mengatakan, “iya”. Amsterdam dalam kacamataku, ramai (terlalu ramai malah) dan semrawut (dalam hal lalu lintasnya). Ramai oleh para wisatawan yang berbondong-bondong menyusuri Damrak dan Centrum menuju Dam Square, ataupun mereka yang dengan raut muka penasaran cengengesan berlalu-lalang mblusak-mblusuk di setiap gang kawasan Red Light District. Bau ganja yang mengambang di udara pun menambah rasa pusing di kepala yang telah disebabkan oleh keramaian manusia tadi. Ditambah lagi para pengendara sepeda di kota ini kurang beradab dibandingkan kota lain di Belanda yang rata-rata pengguna sepedanya anteng-anteng. Terlihat dari gaya mereka mengendarai sepeda yang sering ngebut dan tidak mau mengalah pada pejalan kaki! Total, selama 2 hari mengeksplore Amsterdam, aku memutuskan untuk bilang “Aku kurang suka Amsterdam”.

senja di Amsterdam dengan latar belakang menara gereja Nieuwe Kerk
 Namun, masih banyak kota lain di Belanda yang nyaman dikunjungi seperti Leiden dan Breda yang tenang (relatif sepi malah). Juga Utrecht, kota kanal cantik dengan stasiun kereta api terbesarnya. Atau s-Hertegenbosch (Den Bosch) kota tua dengan St. Jans Cathedral nya yang luar biasa cantik. Dordrecht atau Maastricht dengan kota tua dan Christmas Market nya yang cantik. Mengunjungi kota-kota yang berbeda setiap weekend, merupakan agendaku tiap bulan.
Sampai pada akhirnya terbersitlah inspirasi untuk menghabiskan liburan natal tahun ini di sebuah tempat diluar Belanda. Dan tawaran untuk traveling bareng dari seorang teman pun aku terima tanpa berpikir dua kali. Satu minggu di Jerman dan Republik Ceko sepertinya cukup seru, apalagi mengingat Jerman adalah negara di Eropa yang memiliki Christmas Market terbanyak. Well, Oke lah kalau begitu! Mulai lagi persiapan untuk penjelajahan selanjutnya. Hunting tiket kereta + pesawat, mencari host Couchsurfing, booking hostel, hingga mempersiapkan baju tempur yang memadai untuk traveling di musim dingin nanti. Ya, Desember adalah musim dingin yang bisa dipastikan bersalju dengan suhu hanya satu digit angka saja bahkan bisa minus. Traveling di negara dingin tentu berbeda dengan di negara tropis. Kalau di Asia Tenggara aku selalu traveling bercelana pendek, disini jangan harap bisa bercelana pendek. Bahkan pakai baju dan celana pun harus berlapis-lapis!

Train Ticket to Duesseldorf - Germany :)

Seluruh persiapan untuk Xmas Trip nanti sudah 80% matang. Tinggal satu minggu lagi, dan aku harus mempersiapkan mental dan stamina menghadapi cuaca yang makin dingin setiap harinya. Sambil tak henti memohon pada Yang Kuasa, semoga diberi kelancaran dalam perjalananku nanti ke Jerman dan Ceko. Rute perjalananku kali ini adalah ke Duesseldorf – Cologne (Koln) – Prague, dengan total waktu 6 hari. Dan bertepatan dengan malam natal nanti, aku akan berada di Prague – kota bohemian di Republik Ceko yang terkenal dengan kastil nya yang cantik. Praktis, Jerman dan Ceko akan menjadi Negara ke-4 dan ke-5 dalam daftar kunjungan Travel Wish List ku. Di bulan keberapa? Di bulan Desember, tepat saat 3 bulan 14 hari aku disini, aku akan melangkahi kembali border negara Belanda dan menginjakkan kaki di negara asal Oliver Kahn dan Pavel Nedved! Hehe…
Dan… Kembali aku berkata “God is Good!” saat pada suatu malam tanpa sengaja obrolan isengku dengan seorang teman berubah menjadi sebuah tiket di tangan. Ya, kami membicarakan mengenai rencana pergi ke Spanyol tahun depan, namun tanpa tahu kapan tepatnya. Spanyol termasuk kedalam “tiga besar negara wajib dikunjungi” dalam daftar Travel Wish List ku (setelah Perancis dan Italia). Dan ternyata, obrolan iseng itu pun menggelitik tangan ini untuk memainkan mouse menjelajah dunia maya, mencari-cari tiket pesawat termurah untuk pergi kesana. Dan akhirnya angka €30 itupun menggedor adrenalinku. Ya, €30 untuk tiket pesawat pulang-pergi ke Barcelona, Spanyol! Tanpa banyak diskusi, aku sepakat dengan temanku untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Bayangkan, hanya €30 ditambah PPN dan Service fee total menjadi €42, alias sekitar setengah juta rupiah saja sudah bisa PP ke Spanyol. Dan pilihan jatuh pada bulan Januari 2013, di minggu ke-3. Tepat saat 4 bulan 10 hari aku disini, aku akan melangkahi kembali border negara Belanda dan menginjakkan kaki di The Matador, negara asal sang pujaan hati Cesc Fabregas dan para aktor lapangan hijau yang super cute itu! Dan Spanyol akan menjadi negara ke-6 ku dalam kurun waktu (Thanks God!) 4 bulan.
Begitulah, trimester pertama ku hidup di Belanda. Aku jalani hari demi hari dengan selalu mengucap syukur pada Yang Maha Baik untuk setiap hal dalam hidupku. Sempat ada teman di Indonesia yang bertanya padaku kemarin, “Kamu ngapain merantau jauh-jauh ke Eropa, saat teman-temanmu disini sudah mulai menikah satu persatu. Kalau kamu kerjaannya jalan-jalan melulu, kapan cari jodohnya?”. Aku hanya tersenyum simpul dan menjawab, “Setiap manusia sudah punya jodohnya masing-masing, nggak perlu dicari. Saat ini prioritas utamaku adalah mencicipi Eropa. Siapa tahu kan nanti ketemu jodohnya secara kebetulan saat traveling? Hehe…”
Tapi jujur, pertanyaan temanku itu lumayan menggelitik naluriku untuk menyelipkan sedikit tambahan kedalam proposal Eurotrip ku. Aku tidak minta yang muluk-muluk, hanya berucap “Tuhan, jika memang Engkau telah menyiapkan jodoh untukku, aku ingin kami dipertemukan di sebuah perjalanan, di tanah Eropa ini. Dan aku akan sangat berterima-kasih jika dia adalah seorang pecinta jalan-jalan seperti halnya aku.” :)
“I know that if we give this a little time, it will only bring us closer to the Love we wanna find…”


(inspired by videoclip Lady Antebellum – Just A Kiss)

Tuesday, December 11, 2012

A Lil' Step to... Versailles - France!

Aku berjalan cepat menembus gerimis di pagi hari yang dingin, menuju stasiun kereta Bry-Sur-Marne, Perancis. Sarung tanganku sepertinya tak mampu menahan rasa dingin cuaca pagi itu. Ya, hari-hariku selama di Perancis selalu diselimuti dengan hujan dan udara dingin. Sehingga kurang bisa menikmati dan hunting foto spektakuler. Namun buruknya cuaca tak mengurangi decak kagumku setiap kali menjumpai tempat-tempat cantik di Perancis, seperti di Versailles.

Kereta bergerak cepat menuju bagian luar kota Paris. Selama kurang lebih 30 menit di perjalanan, aku perhatikan banyak diantara para penumpang kereta yang memegang peta metro, sama halnya denganku. Hmmm... jangan-jangan mereka ini juga turis dengan tujuan yang sama, ke Chataeu de Versailles - istana Raja dan Ratu Perancis di abad ke-16 . Dan ternyata dugaanku benar, semua orang di gerbong ini turun di stasiun terakhir yaitu Versailles Rive Gauche Station. Whooaa... saat aku turun dari kereta, ratusan orang lain pun turun dan berbondong-bondong menuju pintu keluar yang ke arah Versailles Palace. Lobby stasiun yang kecil itu pun mendadak penuh sesak oleh manusia. Aku menunggu sampai kerumunan itu berangsur menghilang. Malas rasanya berdesak-desakan di pintu keluar stasiun, macam mau masuk pintu GOR Senayan saja!

Di pintu keluar stasiun sudah ada beberapa orang berseragam resmi yang menunggu. Rupanya mereka adalah petugas resmi dari Travel Agent yang memberikan pengarahan, harus lewat mana kalau mau ke Versailles Palace. Mereka juga menawarkan paket guided tour, yang sepertinya harganya bisa ditawar. Aku membuka payungku dan menembus hujan menuju arah yang ditunjukkan si petugas travel tadi. Banyak sekali wisatawan yang sama-sama menuju kesana hari itu. Di hari hujan saja banyak sekali pengunjungnya, apa kabar kalau hari cerah ya? :)
salah satu sudut istana yang berpagar emas
Sampai di pelataran Place de Armes, terlihat deretan payung terkembang yang berjejer di tengah lapangan, membentuk barisan menuju pintu masuk istana. Euwww... harus ya ngantri segitu panjangnya ditengah hujan begini? Aku dan Irina saling pandang dan sepakat untuk men-skip kunjungan ke istana dengan terlebih dahulu mengunjungi garden dan Trianon - tempat tinggal para ratu & putri raja (taman Kaputren kali ya istilahnya kalau di istana Jawa). Aku bertanya ke bagian informasi apakah ada diskon khusus bagi pelajar berusia dibawah 26th. Dan ternyata, kami bisa masuk istana dan Trianon GRATIS dengan menunjukkan Residence Permit Card. Kami hanya membayar entrance fee ke garden nya saja seharga €6.50. Sebenarnya harga tiket resmi untuk mengakses istana, garden, Trianon, serta Marie Antoinette Estate itu sendiri adalah €18. Atau jika mau masuk ke istananya saja seharga €15. Namun jika kita adalah penduduk Uni Eropa (EU Citizen) maupun warga asing yang memiliki Residence Permit, dan berusia dibawah 26th, serta memiliki kartu pelajar, maka kita di-GRATIS-kan masuk ke wilayah ini. Menguntungkan bukan? ;)
bagian depan Versailles Palace
Chateau de Versailles
salah satu parterre di halaman belakang istana
Masuk ke area garden melalui gerbang South Wing, mata ini disambut dengan hamparan taman berbentuk simetris khas French garden. Berdiri tepat di belakang istana, aku hanya bisa berdecak kagum melihat hasil karya keterampilan tangan para French gardener disini. Disebelah kiri ada South Parterre dan Orangery yang berbentuk melingkar-lingkar bak hamparan permadani hijau bermotif elegan. Di tengah halaman belakang istana, ada Water Parterre yaitu dua buah kolam air mancur dengan patung-patung klasik di tepinya. Menengok ke kanan, ada North Parterre yang terhubung oleh Water Avenue menuju Dragon Fountain dan Neptune Fountain, yang ukuran kolamnya 3x luas kolam Senayan! Bahkan saat menengok ke belakang pun, mata ini masih terkagum-kagum akan keindahan arsitektur dinding belakang istana yang dipenuhi jejeran patung dan pilar klasik. Satu kata: WOW.... Ini baru sebagian kecil saja yang aku lihat, namun sudah mewakili kesan utama dari Chateau de Versailles yaitu... Luxury!
dinding bagian belakang istana
Latona Fountain dengan latar belakang Green Carpet & The Grand Canal
Aku mengikuti arah peta menuju Trianon, melewati Latona Fountain yang cantik dan menyusuri Green Carpet, sebuah hamparan rumput hijau memanjang dengan aneka taman dan labirynt di kanan kirinya. Green Carpet ini menuju Apollo Fountain yang tepat berada didepan The Grand Canal, sebuah kanal buatan yang berbentuk + (tanda plus) dan luasnya segede bagong. Di Apollo Fountain ini, terdapat patung dewa Apollo dengan kereta kudanya menyembul ditengah kolam. Di dekat kolam ada pemberhentian kereta mini yang bisa membawa kita keliling area Versailles garden dengan rute tertentu. Biaya naik kereta ini sekitar €3 untuk return alias bolak-balik.
French Garden di halaman belakang istana
Apollo Fountain
pepohonan yang dibentuk kotak memanjang, cantik! :)
Aku melanjutkan dengan berjalan kaki ditengah siraman gerimis nan dingin, bermaksud untuk menikmati setiap jengkal jalanan berbatu yang diapit pohon-pohon yang dibentuk kotak memanjang dan di-trim sempurna, khas French garden. Tibalah didepan gerbang The Grand Trianon, bangunan berwarna pink pastel yang sudah mulai memudar itu dulunya merupakan tempat Raja menjamu tamu-tamunya untuk makan malam. Kebetulan saat aku datang, sedang berlangsung sebuah pameran yang memamerkan benda-benda peninggalan kerajaan. Grand Trianon ini terdiri dari banyak ruangan besar yang lengkap berisi meja-meja makan dengan chandeliar yang cantik. banyak terdapat lukisan-lukisan The Lady Trianon, para Ratu dan Putri Raja. Dibelakang Grand Trianon terdapat parterre atau taman dengan air mancur. Masih terlihat bunga-bunga berwarna ungu dan kuning di taman itu, sisa-sisa kecantikan bunga musim semi yang masih bertahan hingga musim gugur ini.
Galerie des Cotelle @ The Grand Trianon
The Peristyle Marble hall

salah satu lorong bawah tanah di Petit Trianon
Tak jauh dari Grand Trianon terdapat Petit Trianon, yang dulunya merupakan tempat pribadi Queen Marie Antoinnette memanjakan diri dan bersantai. Di Petit Trianon yang berbentuk kotak berwarna pastel ini, terdapat beberapa ruangan yang berfungsi sebagai kamar, dapur, ruang makan, kamar mandi, dll layaknya rumah hunian. Tak banyak yang bisa dilihat didalam Petit Trianon. Namun saat melangkahkan kaki menuju ke kebun di samping Trianon, mata langsung tertumbuk pada hamparan rumput hijau dengan anak sungai yang mengalir tenang disisinya, dan dikejauhan tampak sebuah kubah putih dengan bunga-bunga disekelilingnya. Kubah putih itu adalah sebuah gazebo yang disebut Le Temple de l'Amour (Temple of Love). Bangunan cantik ini terletak di tepi sungai mini dengan jembatan kecil nan cantik. Sungguh suasana disini sangat tenang dengan pemandangan yang indah.
Petit Trianon
Petit Garden & Temple of Love
Le Temple de l'Amour
Aku berniat untuk melanjutkan penjelajahan ke Marie Antoinnette Estate, rumah tinggal sang Ratu yang terletak lumayan agak jauh dibelakang Temple of Love. Namun sayang, waktu sudah tak memungkinkan untuk kesana karena sudah sore, dan aku belum sempat masuk ke Istana. Akhirnya dengan berat hati aku kembali ke Istana untuk melihat-lihat sebentar didalamnya.

audio guide
Saat masuk melalui pintu utama dibagian depan, kembali aku diijinkan masuk dengan gratis hanya dengan menunjukkan kartu residence permitku. Setelah melewati mesin detector, aku menuju ke bagian Audio Guide counter, dimana kita bisa meminjam alat semacam walkie-talkie yang bisa menjelaskan tentang setiap sudut istana ini. Alat ini dilengkapi dengan entah sensor atau teknologi apa, yang secara otomatis menerangkan dengan detail, ruangan demi ruangan yang kita lewati. Namun sayang, suasana didalam istana betul-betul ramai dipadati pengunjung sehingga kurang leluasa dan berkonsentrasi mendengarkan penjelasan audio guide berbahasa Inggris itu.

Banyak sekali ruangan megah didalam Versailles Palace. Mulai dari The Royal Chapel, kamar Raja, ruang perjamuan makan, galeri lukisan, hingga yang paling tersohor yaitu The Hall of Mirror. Ya, ruangan yang berbentuk memanjang ini dipenuhi dengan cermin, jendela kaca, chandeliar-chandeliar cantik, patung-patung emas, hingga atap yang dipenuhi dengan lukisan megah. Decak kagum dan gumaman takjub banyak terdengar disekitarku saat memasuki ruangan megah ini. Inilah ruangan yang paling tersohor dari Versailles Palace itu sendiri, dan aku bersyukur telah berkesempatan berdiri di dalamnya, mengagumi hasil karya tangan seniman abad pertengahan.
The Hall of Mirror
salah satu patung emas didalam Hall of Mirror
The Royal Chapel
Tak terasa waktu sudah kian sore namun gerimis masih setia memayungi langit Versailles dari pagi hingga sore hari. Aku melangkahkan kaki melintasi Place de Armes menuju stasiun kereta. Aku sempat menoleh ke belakang, masih mengagumi sebentuk istana berpagar emas itu. Sebuah peninggalan dan bukti kemewahan kerajaan Perancis di era abad pertengahan. Aku berjanji didalam hati, suatu hari nanti aku akan kembali kesini, untuk menuntaskan penyusuranku ke setiap sudut Chateau de Versailles, terutama ke Queen's Hamlet dan Marie Antoinnette's Estate. Semoga! :)

Recent Post

Pagi yang Din-Din!!!

 Bruuummm Bruummmm! Din Din Din!!! Kreeeekkkk... Mata yang baru terpejam sebentar ini merengek karena terbangun jam 5 pagi buta. Buset, rame...

Popular Post