Wednesday, July 11, 2012

Sepenggal Jogja Yang Tertinggal


Suhu dingin sore ini menampar sekujur kakiku yang tak berbalut layaknya seorang pengendara motor. Jalanan Kaliurang kubabat dengan speedometer 80km/jam, tanpa menghiraukan dinginnya Jogja yang kian membekukan dan siap membuatku masuk angin. Hari sudah semakin gelap saat mata ini mulai memicing mencari-cari sebentuk panah warna merah bertuliskan "Jejamuran". Kuarahkan sepeda motor ini menuju jalan raya Magelang.
Jalan yang sama, dingin yang sama, namun waktu dan kondisi yang berbeda. Sekejap memori ini melesat jauh kebelakang, ke sebuah sore yang hujan di Magelang....
Kami keluar pelataran Borobudur dengan peluh di dahi yang kepanasan. Ya, cuaca sore itu panas sekali. Cepat-cepat kami mengambil motor dan mengarahkannya kembali ke Jogja, karena waktu sudah kian sore. Namun rupanya perjalanan kami diiringi oleh awan gelap yang tak lama berubah menjadi hujan deras. Dia dengan sigap membelokkan sepeda motornya ke sebuah warung yang telah tutup, dan meneduh disana. Gemericik hujan yang kian lebat mengiringi derai tawa kami disela-sela cerita, angan-angan, dan gurauan yang dibalut dengan udara dingin.
Sore kian menjemput, hujan mulai reda, namun dingin seolah tak perduli dengan hawanya yang menusuk badan. Kami perlahan menyusuri aspal licin dengan berbagi kehangatan ditengah dinginnya gerimis sore. Melewati jejeran sawah yang menghijau, kami melihat sepasang bule sedang foto-foto ditengah rumpun tanaman padi. Kami tersenyum, dan berucap "suatu saat jika kita masih bersama dan traveling bareng lagi, kitapun akan melakukan hal seperti itu. Berfoto in the middle of somewhere."
Hujan tiba-tiba menyergap kami kembali. Semula kami tak perduli dan tetap menembus butiran air dari langit itu. Namun tiba-tiba mata ini tertumbuk pada sebuah bangunan kelabu dibalik pohon beringin besar. Aku tahu itu apa. Memoriku kembali melesat ke 20 tahun yang lalu.
 "Ibu... Itu candi apa namanya?" Tangan kecilku menarik-narik lengan baju ibu.
"Oooh, itu candi Mendut, nduk" Ibu mengelus kepalaku.
"Aku mau kesana bu. Ayo turun bu..." Aku merajuk manja pada Ibuku tersayang
"Lain kali ya nduk, kita kan sedang dalam perjalanan mau ke Jogja. Masa turun dari bis ditengah jalan? Lain kali ya kita kesana" Senyum Ibuku mampu meredam keinginanku untuk mampir ke Mendut.
Dan di sore yang hujan itupun, tanganku kembali menarik-narik lengan baju, namun kali ini bukan baju Ibuku. "Belok kiri, aku mau mampir kesana!" Tanpa ragu dia membelokkan arah menuju pohon beringin besar, yang menutupi sebuah bangunan tunggal berwarna abu-abu. Disana, ditengah sebuah pelataran rumput yang hijau, berdiri anggun sebuah candi tunggal yang dikenal dengan nama, Mendut.
Aku berdiri di teras loket, berteduh dari tetesan hujan yang masih saja mengguyur. Mata ini menatap si cantik Mendut, dan mengagumi salah satu peninggalan Hindu tersebut. Entah kenapa aku lebih tertarik dengan Mendut ini daripada dengan Borobudur ataupun Prambanan. Mungkin karena kedua tempat tadi sudah terlalu komersil dan ramai wisatawan. Sedangkan Mendut tetap menyendiri di antara perkampungan warga, seolah dialah satu-satunya primadona yang berdiri anggun, seorang diri.
Hujan telah berubah menjadi rintik kecil disertai hawa dingin yang membuatku merapatkan jaket hingga ke leher. Tapi percuma saja, setengah paha hingga ujung kaki ini tak berbalut apa-apa. Aku yang selalu traveling bercelana pendek ini kadang merasa kerepotan saat harus berhadapan dengan cuaca yang tak bersahabat. Namun dinginnya sore itu seolah sirna saat mata ini terpaku menatap sebentuk indah berwarna-warni disudut atas Mendut. Wow... Sungguh karya indah tangan Sang Pelukis alam! Sebuah pelangi yang terbentuk setelah hujan, kini menggantung lembut diatas kokohnya Mendut, ditengah pelataran berumput basah.
Mendut berpelangi
Disana, hanya ada aku, dia, dan sepasang bule yang tadi kulihat ditengah sawah. Kami berempat terdiam beberapa detik, mengagumi indahnya langit sore itu. Kuabadikan sebentuk anggun Mendut yang dipayungi pelangi nan cantik. Terima kasih Tuhan, aku masih diberi kesempatan mampir di candi ini dan menyaksikan cantiknya suasana sore setelah hujan kala itu... Di pelataran candi yang dulu sering aku lewati semasa kecil, yang kupandangi dari dalam kaca mobil, aku singgah bersama dia... Yang dulu pernah sangat berarti untukku.
Terimakasih Jogjakarta :)


Suara klakson disekitar menyadarkan lamunanku dan menyeret memori itu masuk kembali kedalam sekat-sekat yang rapat terkunci. Sore ini, dingin yang sama... Dan masih di jalan Magelang yang sama, disebuah perempatan, aku membelokkan sepeda motorku ke kanan, sambil melempar pandang kesebuah tepi jalan dimana dulu aku dan kamu pernah duduk disana. Sebentuk senyum menghiasi wajahku, saat mengingat memori yang dulu pernah terasa indah. Sebuah jejak kepingan kisah kita, yang tertinggal di Jogja... :)
Kupercepat laju sepeda motorku untuk segera sampai ke Jejamuran. Berharap semua memori itu tertinggal dibelakang. Jogja... Kau selalu memberikan kenangan manis dalam hidupku, sejak aku kecil hingga detik ini. Terimakasih, Jogjakarta!

Sunday, July 8, 2012

The Miracle of Dreams Theory

Masih teringat jelas bagaimana dulu waktu kecil, aku sering memelototi sampul album foto yang bergambar Pegunungan Salju abadi Switzerland, atau gambar hamparan bunga tulip warna-warni di lembaran kalender yang tergantung didinding ruang tamu rumahku. Dulu aku tak tahu dimana tempat-tempat indah itu berada. Yang aku tahu, setiap kali aku ikut Ibu pergi ke kantor pos, aku selalu asyik sendiri melihat-lihat kartu pos bergambar sebuah menara miring dan menara lancip, yang setelah aku bersekolah baru aku tahu namanya Menara Pisa dan Eiffel. Saat sudah bisa membaca, Bapak selalu membelikanku majalah Bobo setiap minggu. Dan dari sanalah awal mula hobi kutu buku ku. Dari majalah Bobo pula lah aku tahu bahwa tempat-tempat indah yang selama ini aku lihat di kartu pos dan kalender itu ada di benua Eropa.  Dan ternyata tak hanya Eropa yang punya tempat-tempat eksotik, seluruh benua di muka bumi pun punya tempat-tempat spektakuler dengan ciri khas nya masing-masing.
Dulu, nggak pernah terbayang mau ke Eropa, Australia, bahkan Asia sekalipun! Hanya bisa memandangi gambar-gambar indahnya di majalah2 dan bergumam "kapan ya aku bisa ksna..." Hanya sebersit keinginan yang aku tahu itupun terlalu tinggi untuk seorang gadis biasa saja seperti aku. Bukan berasal dari keluarga tajir, membuatku menepis angan-angan untuk bisa ke berbagai tempat itu jauh-jauh. Yang aku pikirkan saat itu hanya sekolah, belajar, kuliah, lalu bekerja. Dan gambaran-gambaran Eiffel maupun hamparan tulip itu semakin memudar, namun tetap ada di dalam pikiran dan alam bawah sadarku.
Aku menjalani kehidupan normalku sebagai perempuan biasa yang bekerja sebagai mbak-mbak kantoran dengan penghasilan standar, yang harus pintar mengatur bagaimana untuk bisa survive sebagai anak kosan di belantara ibukota ini. Namun hobi jalan-jalan yang sudah tumbuh sejak SMA itu, makin hari makin menjangkit bak penyakit. Kalau dulu pas SMA, aku hanya hobi jalan-jalan disekitar kota tempatku tinggal. Naik gunung/bukit, kemping, ke pantai, jadi agenda jalan bareng teman-teman semasa sekolah. Sesekali aku juga ke Jogja atau Jawa Timur saat libur panjang kenaikan kelas. Kemudian beranjak ke masa kuliah, hobi jalanku mulai merambah ke dunia touring. Touring ke luar kota pun dijadikan agenda traveling rutin, meski tidak terlalu sering, mengingat kocek anak kuliahan yang nggak seberapa. Hingga akhirnya aku masuk ke dunia kerja, dimana aku sudah bisa mendapatkan penghasilan sendiri, hobi traveling pun makin menggedor jiwa petualangku.
Seiring dengan makin maraknya trend airlines Low Cost Carrier, aku pun mulai rajin berburu tiket. Dan menerapkan filosofi gila didalam benakku, "Bekerja setahun, menabung setahun, dan dihabiskan untuk traveling 3x setahun!" Haha.... Nekat? memang... Kalau nggak nekat, nggak adventurous donk. iya kan? Dan konsep flashpacking dan backpacking pun aku terapkan di tiap agenda travelingku. Mematok target tiap tahun, dengan perhitungan budget traveling yang kira-kira cukup, aku pun mulai merangsek keluar garis batas Republik Indonesia.
Ada sebuah kata-kata bijak yang aku dapat dari seseorang, bahwa "jika kau memiliki impian, gambarkanlah impianmu itu diatas sebuah kertas, dan pandanglah kertas itu setiap hari sebelum kau memulai aktifitasmu. Tanamkan itu dalam alam bawah sadarmu, dan jadikan itu motivasi untuk meraihnya." Semula aku hanya berpikir, masa sih sebuah gambar saja bisa menjadi pendorong motivasi? Namun akhirnya aku menuruti juga saran itu. Aku menggunting beberapa gambar tempat-tempat yang menurut aku indah dan merupakan destinasi impian bagi para traveler. Aku memilih acak gambar Eiffel, Keukenhof, Phi-phi Island, dan beberapa tempat lainnya di Asia, Australia, Eropa, dan tak lupa juga Indonesia. Aku tempelkan potongan-potongan gambar itu di balik sebuah kertas brosur film (benar-benar asal buatnya). Dan aku tiliskan kata-kata pemotivasi diantara tebaran gambar itu. Kemudian aku tempelkan kertas itu di meja kerjaku, yang mau tak mau aku pandangi tiap kali aku duduk didepannya. Entah karena kertas itu, atau karena aku tengah beruntung. Satu persatu destinasi impian itu pun tercapai, masih di kawasan Indonesia dan Asia memang... Namun aku sudah cukup bersyukur bisa punya kesempatan mewujudkan potongan gambar yang tadinya hanya sekedar angan-angan itu. Sayang kertas bersejarah itu terselip entah kemana saat aku pindah kantor. Meskipun tanpa kertas itu, kini aku tetap menanamkan keyakinan dalam alam bawah sadarku setiap hari, untuk bisa menginjak dataran Eropa yang sejak kecil telah menggelitik dunia khayalku itu.
Sampai di 2011 terbersit keinginan untuk bisa kesana, bukan sekedar jalan-jalan melainkan stay disana. Tapi sempat bingung dan ragu, apa iya mungkin aku yang seorang gadis biasa saja ini bisa menginjak belahan bumi utara nan jauh disana? Selama ini, aku yang bekerja di sektor pariwisata ini hanya mampu mendengar cerita teman-teman yang pernah bertugas kesana, ataupun melayani klien yang berencana berlibur kesana. Namun keinginan untuk bisa mencicipi negara empat musim kian mendobrak pemikiranku. Maka dimulailah pencarian informasi seputar beasiswa hingga program cultural exchange ke negara-negara di Eropa. Berbagai cara telah kucoba, hingga akhirnya di 2012 aku membulatkan tekad untuk ikut program cultural exchane atau pertukaran kebudayaan. Dan dipilihlah Belanda sebagai destinasiku untuk belajar dan tinggal disana.
Berbekal berbagai informasi dan kemantapan hati, aku pun meminta restu orangtua, untuk rencana gila dikepalaku ini. Sempat orangtua hanya menanggapi rencana nekatku ini dengan pertanyaan "apa kamu serius?" Ya, mengingat aku hanyalah seorang gadis biasa yang berasal dari keluarga yang biasa saja, mungkin memang impianku ini sedikit kurang ajar. Hehe.... Tapi itulah aku, dengan berbagai impian yang semula memang dianggap nggak tahu diri, tapi akhirnya bisa aku wujudkan satu persatu. Dan sama halnya dengan impianku ke Eropa kali ini. Memang sedikit sinting bagi anak terakhir seorang pensiunan PNS ini untuk mimpi bisa tinggal di Eropa. Namun, orangtuaku akhirnya merestui tekadku itu dengan harapan semoga kali ini mimpi anak bungsunya ini pun akan terwujud.
Dimulailah semua prosedur di awal tahun, mulai dari pendaftaran hingga pemenuhan segala macam urusan dokumen dan administrasinya. Segala yang dibutuhkan untuk persiapan tinggal dan sekolah disana aku siapkan satu persatu. Cukup berliku dan makan waktu hingga setengah tahun. Bahkan sempat putus asa pula saat ada dua buah dokumen reference yang ditolak oleh pihak Belanda. Sempat pula merasa galau saat tak kunjung ada kepastian jadi atau tidaknya aku kesana. Hingga pada awal Juli lalu aku dihubungi oleh salah satu host-family dari Belanda, yang menyatakan bahwa merekalah yang akan menampung dan membiayai seluruh akomodasi dan proses belajarku selama disana. Wow…. Rasanya? Girang luar biasa hingga bicara pun terpatah-patah saat ngobrol dengan host-fam itu. Akhirnya sebuah titik terang itu pun muncul. Aku kembali bersemangat dalam mempersiapkan segala tetek-bengek dokumentasi guna mengurus visa, MVV, dan Residence Permit ku di Belanda. Kini yang tersisa hanya dua bulan waktuku untuk menikmati negara tropis ini, sebelum nanti akhirnya aku hijrah ke negara empat musim itu.
Perasaanku kini? Campur aduk, antara senang bukan main karena sebentar lagi bisa mewujudkan mimpiku ke Eropa, dan sedih karena harus meninggalkan comfort zone ku selama 25 tahun di Negara tropis ini. Namun aku telah membulatkan hati untuk ‘dare to breakthrough’ dengan keluar dari comfort zone, menanggalkan status karyawan tetapku disebuah perusahaan jasa pariwisata yang aku cintai. Mengutip dari sebuah kata-kata bijak "orang yang sukses adalah orang yang berani meninggalkan comfort zonenya dan dare to breakthrough!" Dan ini saatnya untukku. Kini, dua bulan yang tersisa akan kumanfaatkan untuk melakukan yang terbaik bagi orang-orang yang aku sayangi disekitarku. Melakukan apa yang belum sempat dilakukan, dan mengungkapkan apa yang selama ini belum sempat dikatakan. Memang sih, perjanjian kerjasamaku dengan pihak Belanda hanya satu tahun, namun aku berencana untuk extend sampai entah kapan. Sepertinya seru aja gitu bisa belajar bahasa disana kemudian bekerja disana, sukur-sukur bisa dapet jodoh orang sana pula. Hehe…
Mungkin beberapa bulan yang lalu, orang-orang mengira aku ini hanya pemimpi sinting dengan hayalan tingkat dewa. Namun nanti, aku akan membuktikan sebuah pembuktian nyata, akan teori “The Miracle of Dreams” itu. Bahwa sebuah mimpi yang kita tanamkan dalam hati dan kita yakini, akan bisa kita wujudkan tentunya dengan sebuah usaha, sebongkah harapan, dan untaian doa.
Kini, aku hanya bisa minta doa dari keluarga dan teman-teman, semoga pilihanku ini bisa berjalan lancar dan membuahkan hasil yang baik dikemudian hari. Pastinya aku akan sangat merindukan kalian semua nanti. Karena sebelumnya aku nggak pernah meninggalkan Indonesia lebih dari seminggu. Bakalan kangen berat sama suhu udara tropis dan masakannya. Hmmm…. 


Friday, July 6, 2012

Aku dan Dunia

Sering ada yang bertanya, "Cesc, apa goal mu dalam hidup?". mmmm.... sambil memutar mata, aku menjawab "kemanapun kaki ini melangkah, disitulah tujuanku". Aku tahu, sepintas jawabanku itu tampak seperti jawaban bodoh yang tak mendasar. Jawaban seseorang yang sepertinya tak punya tujuan hidup. Namun, sebenarnya itulah jawabanku. Aku akan terus mengikuti langkah kakiku, kemanapun itu. Bukan tanpa tujuan, melainkan dengan satu tujuan: "Melihat Dunia".
Berawal dari sepenggal mimpi, yang dibalut dengan kerja keras dan keyakinan, serta sebongkah doa yang tak pernah henti... Aku... Akan melihat dunia...
Ini caraku. Bagaimana dengan caramu?

_ Sepenggal kata hati seorang Traveler _


Recent Post

Pagi yang Din-Din!!!

 Bruuummm Bruummmm! Din Din Din!!! Kreeeekkkk... Mata yang baru terpejam sebentar ini merengek karena terbangun jam 5 pagi buta. Buset, rame...

Popular Post